Perubahan Iklim Picu Kenaikan Air Laut, Ancam 160 Juta Warga Pesisir

ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/nz
Warga memancing ikan di lokasi terdampak abrasi di Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (27/6/2023). Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyampaikan sejumlah solusi mengatasi dampak rob dan penurunan tanah atau land subsidence yaitu solusi jangka pendek salah satunya dengan penanganan darurat banjir di sistem Bremi-Meduri dan solusi jangka panjang salah satunya adalah rencana pembangunan jalan lingkar Utara Pekalongan.
21/8/2023, 16.04 WIB

Kementerian Bappenas menyebut perubahan iklim sudah membuat sejumlah wilayah di Indonesia terendam permanen akibat kenaikan muka air laut.

Menteri Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan salah satu kota yang mulai terendam yakni Pekalongan di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB), rata-rata penurunan tanah di Pekalongan mencapai 10 cm-20 cm per tahun. Ia menyebut perubahan iklim berdampak sangat signifikan terhadap wilayah pesisir Indonesia. 

“Kenaikan muka air laut akan berkisar antara 0,8-1,2 cm per tahun dan sudah mulai banyak wilayah di Indonesia yang tergenang dan terendam secara permanen,” katanya dalam dialog ‘Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045’ Senin (21/8).

Suharso menuturkan saat ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sedang membuat tanggul untuk mengatasi banjir rob di di Pekalongan. Namun, itu hanya solusi sementara. Hitung-hitungan Bappenas, kenaikan muka air laut akan mengancam 160 juta masyarakat yang tinggal di pesisir. 

“Kalau itu terjadi sesuatu, mereka harus bermigrasi mencari tempat yang lebih aman dan tentu saja ini pada gilirannya berikutnya akan berpengaruh terhadap ekonomi dan akan disusul demam berdarah, malaria, pneumonia dan seterusnya,” ucapnya.

Suharso menyebut jumlah kasus kematian akibat demam berdarah disebut meningkat lebih dari 25% pada kurun waktu 2021-2022. Lebih lanjut, perubahan iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan air di sebagian besar wilayah Indonesia yang diperkirakan akan mengalami penurunan tingkat curah hujan sekitar 1-4 persen hingga 2034. 

Hal ini mengakibatkan pasokan air bersih semakin berkurang dan berpotensi menimbulkan konflik alokasi air, terutama untuk daerah yang bertumpuk antara sektor pertanian, industri, dan energi.

Pada sektor pertanian, dampak perubahan iklim menyebabkan periode ulang variasi iklim semakin singkat. Salah satunya adalah siklus variasi El Niño–Southern Oscillation yang semestinya terjadi setiap 3-7 tahun sekali, tetapi sudah menjadi lebih singkat menjadi 2-5 tahun sekali.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan himbauan bahwa fenomena El Nino akan berlangsung cukup panjang pada tahun ini hingga akhir Desember 2023. Karena itu, dampak dari fenomena tersebut perlu dimitigasi agar tidak terjadi kelangkaan air, potensi kebakaran hutan dan lahan, serta penurunan produktivitas pangan.

Perubahan iklim menyebabkan pula kesulitan dalam menentukan waktu tanam mengingat terjadi pergeseran awal puncak musim hujan.

“FAO (Food and Agriculture Organization) memproyeksikan potensi penurunan produksi padi di Indonesia akibat fenomena El Nino sebesar 1,13-1,89 juta ton, sehingga akan menurunkan pendapatan petani 9-20 persen,” ungkap Suharso.




Reporter: Rezza Aji Pratama