Selain Syarat Cawapres, Ini Beberapa Putusan MK yang Kontroversial

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
ilustrasi, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Penulis: Agung Jatmiko
17/10/2023, 18.26 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini membuat mereka yang pernah menjabat sebagai kepala daerah bisa maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.

MK mengubah syarat calon presiden dan calon wakil presiden dengan menambahkan frasa pada pasal 169 huruf q UU Pemilu menjadi: 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah'.

Putusan ini mengundang kritik dari para pakar hukum tata negara. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto misalnya, menilai putusan MK sudah masuk ke dalam ranah politik, dan menjadi bagian dari politik praktis. Lalu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengatakan, putusan tersebut menegaskan inkonsistensi MK dalam menegakkan konstitusi.

"Apapun alasannya, MK telah melampaui batas kewenangannya. MK telah mengambil alih peran DPR dan Presiden, dua institusi yang mempunyai kewenangan legislasi, karena dengan putusan menerima dan mengubah bunyi Pasal tersebut, artinya MK menjalankan positive legislator," kata Hendardi dalam keterangan tertulis.

Bukan kali ini saja MK mengeluarkan putusan yang mengundang polemik. Sebelumnya beberapa putusan yang diambil, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial, juga menimbulkan 'kegaduhan'.

Ilustrasi, suasana pembacaan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.)

Deretan Putusan MK yang Mengundang Polemik

Sejak pendiriannya, pada 19 November 2003, MK telah mengeluarkan beberapa putusan yang kontroversial, dan mengundang polemik. Beberapa contoh putusan MK yang dimaksud, antara lain:

1. Kampanye Pemilu Boleh Diadakan di Lingkungan Pendidikan dan Kantor Pemerintah (2023)

MK membolehkan pihak yang berkampanye untuk memakai fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye. Keputusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diketok 15 Agustus lalu.

Banyak pihak yang menyayangkan keputusan ini, karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mengutip BBC, Selasa (22/7), Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan, putusan MK ini dapat dimanfaatkan calon tertentu, terutama yang berstatus inkumben, untuk memerintahkan bawahannya memberikan izin kampenye di sekolah-sekolah negeri, dan fasilitas pemerintah.

2. Menambah Masa Jabatan Pimpinan KPK (2023)

MK menegaskan masa jabatan pimpinan KPK adalah lima tahun, sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022. Sebelumnya, jabatan pimpinan lembaga anti rasuah ini, adalah empat tahun.

Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid mengatakan, putusan ini multitafsir dan problematik. Menurutnya, putusan tersebut tidak bisa menjadi pijakan konstitusional bagi pimpinan KPK saat ini terkait dengan kewenangan transisi hingga Desember 2024.

3. Menolak Permohonan Pernikahan Beda Agama (2023)

Melalui Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, MK menegaskan, bahwa keabsahan pernikahan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Adapun, pelaksanaan pencatatan pernikahan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan

Keputusan tersebut mengundang polemik, karena banyak kalangan menganggap pernikahan merupakan hak asasi manusia (HAM). Meski demikian, MK menilai HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing.

 

4. Pembatalan Peleburan Asabri ke BPJS Kesehatan (2021)

Putusan MK Nomor 6/PUU-XVIII/2020 membatalkan berlakunya Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 2029.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, pertimbangan putusan kurang tepat, karena MK masih membedakan antara PNS/ASN dengan pekerja/buruh swasta karena dianggap memiliki karakteristik yang berbeda. Menurutnya, MK seharusnya bisa melihat pelaksanaan program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan dimana tidak ada perbedaan manfaat (diskriminasi) yang diterima PNS, TNI/Polri, dan pekerja swasta.

Ilustrasi, sidang uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.)

5. Putusan MK tentang Batasan Usia Menikah untuk Perempuan (2015)

MK memutuskan batasan usia minimal 16 tahun bagi perempuan untuk menikah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tertera dalam Putusan Nomor 74/PUU-XII/2014. Keputusan ini menimbulkan pro dan kontra, dengan beberapa pihak yang menganggapnya kurang memadai untuk melindungi anak-anak dari pernikahan dini.

Untungnya, melalui Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017, MK mencabut ketentuan Pasal & Ayat (1) UU Perkawinan, dan memerintahkan legislator untuk melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batasan usia pernikahan. Kini, usia minimal bagi perempuan untuk menikah, adalah 19 tahun.

6. Penghapusan Ancaman Pidana bagi Orang yang Mengaku Advokat (2004)

Pada 13 Dsember 2004, MK mencabut Pasal 31 UU Advokat melalui Putusan Nomor 006/PUU-II/2004. Putusan ini mengundang polemik, karena Pasal 31 UU Advokat mengatur tentang sanksi pidana bagi orang yang mengaku sebagai advokat.

Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) bereaksi keras dan mengecam putusan itu, karena dianggap menghancurkan tatanan hukum yang sudah ada. Pencabutan aturan ini dinilai menyulitkan pengawasan dan penindakan terhadap pihak-pihak yang mengaku sebagai advokat.

Pertimbangan MK mencabut Pasal 31 UU Advokat, adalah karena pasal ini dalam prakteknya dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Sebab, seorang dosen di lembaga bantuan hukum (LBH) milik universitas, yang memberikan konsultasi hukum kepada seseorang dan menerima uang terima kasih, dapat dipidanakan.