Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia atau UII, Yogyakarta, mengeluarkan pernyataan kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi diminta untuk memperhatikan etika dan praktik kenegarawanan dalam sebuah pernyataan berjudul "Indonesia Darurat Kenegarawanan"
Kritik ini dibacakan langsung oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid di depan Auditorium Prof. KH. Kahar Muzakir kampus UII. “Pernyataan sikap ini sama sekali bukan partisan, murni pernyataan anak bangsa yang tersadarkan bahwa bangsa Indonesia masih punya daftar pekerjaan yang sangat, sangat panjang,” kata Fathul dilansir dari saluran YouTube UII, Kamis (01/02).
Ada enam pernyataan sikap sivitas akademika UII. Pertama, mendesak Presiden Joko Widodo untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan instrumen kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan capres atau cawapres.
"Presiden harus bersifat netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok," bunyi pernyataan tersebut.
Kedua, menuntut Presiden Joko Widodo beserta seluruh aparatur pemerintah berhenti menyalahgunakan kekuasan dengan tidak mengerahkan dan memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bansos.
Ketiga, menyeru DPR dan DPRD agar aktif melakukan fungsi pengawasan, memastikan pemerintahan berjalan sesuai dengan koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi dan mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa.
Keempat, mendorong capres, cawapres, para menteri, dan kepala daerah, yang menjadi timses serta tim kampanye salah satu paslon untuk mengundurkan diri dari jabatannya. "Guna menghindari konflik kepentingan yang berpotensi merugikan bangsa dan negara."
Kelima, mengajak masyarakat Indonesia untuk terlibat, memastikan pemilu berjalan dengan jujur adil dan aman demi terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat.
Keenam, meminta seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama merawat cita-cita kemerdekaan dengan memperjuangkan terwujudnya iklim demokrasi yang sehat.
Ada empat latar belakang mengapa sivitas akademika UII mengambil sikap demikian. Pertama, mereka melihat semakin banyaknya praktik penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis. Hal ini salah karena mengerahkan sumber daya negara.
Kemudian, mereka melihat sikap kenegarawanan Presiden Jokowi kian memudar. Indikator utamanya adalah pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden berdasar putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan itu dianggap sarat dengan intervensi politik dan melanggar etika.
“Gejala ini kian jelas ke permukaan saat Presiden Jokowi menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan memperbolehkan presiden berkampanye dan berpihak,” kata Fathul.
Mereka juga menyoroti distribusi bantuan sosial dan bantuan langsung tunai oleh Jokowi yang sarat kepentingan politik praktis. Bahkan, dipersonalisasi penguatan hubungan terhadap paslon tertentu. Mobilisasi aparatur negara untuk mendukung paslon tertentu, dinilai sebagai tindakan melanggar hukum dan konstitusi.
“Situasi di atas menjadi bukti Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi,” ujar Fathul.