Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk mengevaluasi besaran subsidi energi pada kuartal III tahun ini. Hal ini menyusul adanya potensi lonjakan harga minyak imbas konflik bersenjata Israel - Iran sejak awal April lalu.
Keputusan tersebut merupakan salah satu poin pembahasan dalam rapat internal bersama sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju (KIM) di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (16/4).
Para menteri yang hadir dalam rapat terbatas terkait situasi global kali ini adalah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana peninjauan jumlah subsidi energi merupakan antisipasi pembengkakan subsidi energi imbas konflik Iran-Israel.
"(Evaluasi) dilakukan setelah Juni," kata Airlangga saat ditemui seusai rapat.
Pertikaian di Timur Tengah saat ini belakangan berdampak pada kondisi ekonomi global, khususnya pada jalur Laut Merah dan Selat Hormuz. Dua jalur itu merupakan rute pengiriman niaga minyak dari Teluk Persia. Adapun Selat Hormuz merupakan wilayah yang memisahkan Iran dan Uni Emirat Arab.
Adanya hambatan di Selat Hormuz ditengarai dapat mengganggu kelancaran pasokan minyak bumi dari Timur Tengah nantinya. Airlangga menyebut laju pergerakan kapal minyak di Selat Hormuz mencapai 33 ribu kapal. Sementara arus lalu lintas di Laut Merah mencapai 27 ribu kapal.
Lebih lanjut, Ketua Umum Partai Golkar ini mengatakan konflik Israel-Iran berpotensi mengerek ongkos pengangkutan atau freight cost dari komoditas minyak dan gas bumi apabila ada hambatan pada Laut Merah dan Selat Hormuz.
"Dari sisi Perekonomian pemerintah melihat ada lonjakan harga minyak imbas serangan Israel ke Iran, dan peningkatan freight cost menjadi salah satu yang harus dimitigasi," ujar Airlangga.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui sulit untuk menahan potensi pembengkakan subsidi energi imbas konflik bersenjata di Timur Tengah.
Arifin menjelaskan faktor penggelembungan nilai subsidi berasal dari faktor eksternal yang sulit dikendalikan oleh pemerintah. Dua faktor eksternal itu yakni harga minyak dan nilai tukar mata uang alias kurs.
"Ini susah, karena faktor-faktornya sulit kita kendalikan. Jadi kita harus melakukan efisiensi energi dan menggunakan sumber energi alternatif dari dalam negeri," kata Arifin.
Kementerian ESDM sebelumnya memproyeksikan harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) dapat menembus US$ 100 per barel jika eskalasi konflik Israel-Iran berlanjut dan meluas. Kenaikan harga minyak tersebut dapat membuat subsidi bahan bakar minyak dan elpiji membengkak.
Direktur Jenderal Migas, Tutuka Ariadji, mengatakan kenaikan nilai ICP akan berimbas pada peningkatan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Elpiji. Pemerintah mematok ICP dalam asumsi ekonomi makro APBN 2024 sebesar US$ 82 per barel.
Adapun harga rata-rata ICP terbaru bulan Maret 2024 telah berada di level US$ 83,79 per barel. Angka tersebut meningkat US$ 3,69 per barel dari ICP bulan Februari senilai US$ 80,09 per barel.
"Saya menyatakan bahwa kemungkinan besar ICP akan naik ke US$ 100 per barel. Kalau kita soroti ICP, sebetulnya dari Februari atau Maret-April naik terus," kata Tutuka dalam diskusi daring bertajuk 'Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI' pada Senin (15/4).