KPK: Keluarga Syahrul Limpo Berpotensi Jadi Tersangka Pencucian Uang

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.
Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (tengah) menyapa wartawan saat tiba di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (5/10/2023).
Penulis: Ade Rosman
2/5/2024, 17.37 WIB

Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan keluarga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) berpotensi menjadi tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut Ali, keluarga Syahrul bisa jadi tersangka bila terpenuhi unsur kesengajaan saat ikut menikmati uang yang dialirkan.

"Yang itu nanti terbukti terlebih dahulu kejahatan korupsinya," kata Ali dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (2/5).

Ali menjelaskan, dalam perkara TPPU, secara teknis uang hasil kejahatan lalu diubah menjadi nilai ekonomis semisal dibelikan aset seperti rumah. Ia mencontohkan, bila kemudian rumah itu diberikan pada keluarga ataupun kerabat dengan kesengajaan dan secara sadar yang diberi tahu muasal rumah itu, maka yang bersangkutan bisa ikut terjerat TPPU.

"Karena penyelenggara negara itu kan penghasilannya bisa terukur setiap waktu, setiap bulan misalnya berapa, sehingga ketika perolehan sebuah rumah apakah dia pas dengan profilnya, itu kan bisa diukur," kata Ali.

Ali menjelaskan terdapat perbedaan antara TPPU dengan gratifikasi. Ia mengatakan, secara normatif, ketika penyelenggara negara menerima suap atau gratifikasi dalam jabatan, dan uangnya ikut dinikmati orang lain dengan sengaja maka tak dapat ikut terseret.

 Hal berbeda menurut Ali terjadi dalam perkara TPPU. Dalam pencucian uang, pelaku biasanya dengan sengaja memindahkan uang yang dia terima untuk membeli aset lain. Aset itu kemudian diserahkan kepada orang lain yang dengan sengaja dilakukan untuk menyembunyikan asal uang. 

Aliran Uang Syahrul Limpo untuk Keluarga

Sebelumnya, persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengungkap aliran uang kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi Syahrul Limpo.  Para saksi membeberkan uang dari Kementan mengalir untuk kepentingan pribadi Syahrul Limpo hingga anak-cucunya.

Saat ini Syahrul didakwa melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi dengan total Rp 44,5 miliar. Dia didakwa bersama dua mantan anak buahnya, yakni Sekjen Kementan nonaktif Kasdi dan Direktur Kementan nonaktif M Hatta.

Biro Umum Kementan memaparkan kementerian diminta membayar tagihan kredit Syahrul yang mencapai ratusan juta rupiah. Mereka juga perlu menyediakan beragam pengeluaran keluarga Syahrul seperti biaya skincare anak,  hingga membelikan kendaraan mewah.

Mantan Kepala Subbagian (Kasubag) Rumah Tangga Kementan, Isnar Widodo, menyebutkan Syahrul  meminta anak buahnya membayarkan tagihan kartu kredit senilai Rp 215 juta. Isnar mengatakan permintaan pembayaran tagihan kartu kredit untuk keperluan pribadi Syahrul disampaikan oleh mantan ajudan, Panji Hartanto.

"Panji yang minta untuk dibiayai kartu kredit Pak Menteri," ucap Isnar saat menjadi saksi, pekan lalu.

Isnar mengatakan dua pejabat di Kementan dilakukan Syahrul dari jabatan struktural ke fungsional di awal 2022. Dua orang itu yakni mantan Kepala Biro Umum dan Pengadaan Kementan Akhmad Musyafak, serta mantan Sub Koordinator Pemeliharaan Biro Umum dan Pengadaan Kementan Gempur Aditya.

Hal lain juga disampaikan Mantan Kasubag Pengadaan Biro Umum Kementan, Abdul Hafidh. Ia memberikan kesaksian, kementeriannya mengeluarkan duit untuk acara sunatan cucu Syahrul Limpo. 

Hafidh mengatakan acara sunatan untuk anak dari putra Syahrul Kemal Redindo. Selain itu, Kementan juga mengeluarkan uang untuk merayakan acara ulang tahun anak Kemal.

Namun, Hafidh lupa nominal dana yang dikeluarkan untuk ulang tahun dan sunatan tersebut. Hakim sempat mencecar Hafidh mengenai dana yang dikeluarkan Kementan untuk dua acara tersebut. Dia hanya menjawab cukup lumayan, tidak sampai Rp 100 juta.

Dalam sidang itu juga terungkap adanya dana  yang mengalir untuk biasa skincare anak Syahrul. Selain itu ia juga disebut menyetor bantuan senilai Rp 850 juta untuk partai Nasional Demokrat (NasDem). 



Reporter: Ade Rosman