Ajukan Uji Materi, Eks Gubernur dan Eks Dirut Perindo Gugat 2 Pasal UU Tipikor

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.
Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh (kanan) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (20/11/2023).
Penulis: Ade Rosman
23/9/2024, 10.42 WIB

Mantan Direktur Utama Perum Perindo Syahril Japarin dan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengajukan judicial review atau permohonan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Uji Materi juga diajukan oleh mantan Koordinator Tim Environmental Issues Settlement PT Chevron Kukuh Kertasafari 

Para pemohon menilai uji materi dilakukan lantaran aparat terlalu berfokus pada aspek kerugian negara yang ditimbulkan sehingga mengaburkan esensi korupsi. Penerapan klausul kerugian negara bahkan dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan yang dibuat petinggi BUMN. 

Melalui kuasa hukumnya Maqdir Ismail para pemohon mengatakan permohonan itu menyoroti Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Dua ketentuan ini disebut menjadi pasal kunci yang sering digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku korupsi karena cakupannya yang luas dan ancaman hukumannya yang cukup berat.

Maqdir mengatakan, dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menekankan pada dua aspek utama yakni perbuatan melawan hukum dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Kemudian Pasal 3 UU Tipikor, lebih spesifik mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatannya, yang juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

"Dalam praktiknya, penerapan kedua pasal ini sering kali menghadapi tantangan, terutama dalam hal pembuktian dan interpretasi hukum, yang cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum," kata Maqdir seperti dikutip dari keterangan resmi, Senin (23/9).

Maqdir menilai, pendekatan yang berfokus pada kerugian negara tersebut kerap didorong oleh desakan untuk menunjukkan besarnya dampak ekonomi dari korupsi. Namun, pada sisi lain, penggunaan pasal itu mengaburkan esensi korupsi yakni perbuatan curang yang bertujuan  mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain.

Ia pun mengatakan, dalam beberapa kasus, fokus yang berlebihan pada kerugian negara menimbulkan konsekuensi yang tidak adil bagi terdakwa. Perlakukan tak adil itu terutama ketika tidak ada niat jahat untuk memperkaya diri secara melawan hukum.

Menurutnya, permasalahan semakin kompleks ketika penegak hukum mulai memperluas definisi kerugian perekonomian dan keuangan negara untuk mencakup berbagai bentuk kerugian, termasuk kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pilihan ini menurut Maqdir membuat direksi BUMN berada dalam posisi yang rentan.

Ia mencontohkan keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan dapat dipandang sebagai tindak pidana korupsi. Padahal menurut Maqdir bisa jadi keputusan tersebut diambil dengan itikad baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

"Di negara lain, misalnya Amerika Serikat, keputusan bisnis yang berujung pada kerugian perusahaan termasuk dalam ranah business judgement rule. Jadi, bukan pidana, selama keputusan tersebut diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Maqdir.

Titik Lemah Pasal Kerugian Negara

Maqdir menilai fokus berlebihan pada aspek kerugian bukan saja menimbulkan kriminalisasi terhadap kebijakan, namun juga menyebabkan pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif dan efisien karena di sisi lain banyak kasus suap justru tidak tersentuh.

"Pejabat publik, termasuk direksi BUMN dan BUMD menjadi takut membuat keputusan strategis yang bisa menimbulkan risiko keuangan, meski keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik," katanya.

Melalui permohonan itu, para pemohon meminta agar MK membatalkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena menurut mereka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal kedua pasal tetap akan dipakai, pemohon meminta harus ada klausul tambahan yang menegaskan delik korupsi. 

“Dalam hal ini frasa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi harus ditambahkan dengan syarat adanya unsur suap atau akibat penyuapan," kata Maqdir. 

Sebelumnya eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M Hamzah juga pernah menyorot penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Dalam diskusi dalam siniar Gultik Katadata.co.id, Chandra mengatakan pasal kerugian negara tidak lazim digunakan di negara lain. Akibatnya Indonesia sulit melakukan kerja sama dengan negara lain untuk mengusut hal tersebut bila dibutuhkan akses lintas negara. 

“Kesulitannya adalah kita tidak bisa melakukan proses mutual legal assistance yaitu proses kerja sama antara penegak hukum negara lain dengan Indonesia di mana kita minta bantuan dia untuk buka rekening, untuk menangkap orang, untuk menahan orang,” ujar Chandra dalam podcast bersama Wahyu Muryadi yang disapa Om Why di siniar itu. 

Menurut Chandra dibanding melihat unsur kerugian negaranya, penegak hukum lebih baik fokus pada adanya upaya untuk memperkaya diri sendiri atau kongkalikong dalam pengambilan suatu keputusan. Hal ini menurut dia akan membuat proses penegakan hukum lebih jelas dan tidak mudah dipolitisasi. 

Reporter: Ade Rosman