Genjot Ekspor, Kementan Garap Komoditas Potensial Daerah Perbatasan

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Petani dikawasan Marunda, Cilincing, Jakarta mulai sibuk memanen padi yang sudah mulai menguning (5/7). Rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.166 per kg atau naik sebesar 0,26 persen. Sedangkan rerata hara beras kualitas rendah di penggilingan sebesar Rp 9.012 per kg, angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,65 persen.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ekarina
16/7/2019, 18.24 WIB

Kementerian Pertanian membidik peluang ekspor dengan mengembangkan komoditas potensial dari wilayah perbatasan. Komoditas tersebut jenisnya beragam, seperti rempah-rempah, buah dan sayur organik serta  beberapa hewan ternak seperti kambing hingga babi.

"Yang akan kami kembangkan adalah komoditas-komoditas untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan negara sekitar perbatasan itu sendiri," kata Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi di Menara Kadin, Jakarta, Selasa (16/7).

Lima kawasan perbatasan yang dikembangkan untuk mendorong ekspor ialah Kepulauan Riau, Kalimantan Barat (Entikong), Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua (Merauke).

(Baca: Ekspor Minyak Sawit RI Merosot 18% Akibat Hambatan Dagang)

Masing-masing wilayah memiliki potensi yang berbeda-beda. Salah satu contoh, Kalimantan Utara yang bisa mengembangkan jenis padi organik seluas 5 ribu hektare serta cabai dan bawang merah dengan luas area tanam 200 hektare.

Selain untuk kebutuhan masyarakat sekitar, pengembangan juga bertujuan untuk mendorong ekspor di perbatasan. Salah satunya, Kepulauan Riau memiliki pangsa ekspor buah dan sayur organik ke Singapura. Kemudian, Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara yang memiliki pangsa ekspor pangan organik ke Kalimantan Utara.

Selanjutnya ada Sulawesi Utara yang berpeluang mendorong ekspor kambing, babi, dan ayam ke Republik Palau, negara kepulauan di Samudra Pasifik, yang terletak sekitar 200 km sebelah utara wilayah provinsi Papua Barat, 255 km sebelah timur Maluku Utara,dan 500 km sebelah timur Filipina.

Kemudian, Papua memiliki pangsa ekspor pangan dan sawit ke Papua Nugini. Sedangkan, NTT berpotensi ekspor jagung dan pangan lainnya ke Australia serta ekspor beras dan bawang merah ke Timor Leste.

Agung mengatakan, upaya pengembangan komoditas tersebut akan dilakukan pemerintah melalui peningkatan sumber daya manusia, memberikan bantuan benih, serta pembangunan sarana dan infrastruktur. "Kami undang Politeknik Pembangunan Pertanian untuk mendidik masyarakat hingga satu tahun," ujarnya.

Tujuh Daerah Rentan Pangan

Selain daerah perbatasan yang memiliki komoditas pangan potensial, Kementan juga mencatat setidaknya ada tujuh daerah perbatasan yang ketahanan pangannya masih rentan. 

Mengutip data Kementan pada 2018, tujuh daerah tersebut adalah Riau, Kepulauan Riau, NTT, Sulawesi Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat. "Semua perbatasan itu rawan," kata Agung.

(Baca: Bea Cukai Buka Toserba di Seluruh Perbatasan Indonesia)

Ini menandakan, kemampuan daerah tersebut dalam menyediakan pangan masih terbatas. Selain itu, daerah rawan pangan diindikasikan dengan infrastruktur yang terbatas, termasuk air bersih dan tenaga medis.

Oleh karena itu, Kementan juga akan melakukan intervensi pada daerah rentan pangan, seperti mengadakan pertanian koorporasi, membangun pertanian di sektor hulu dan hilir, serta pengembangan komputasi. Dengan demikian, daerah tersebut diharapkan dapat memproduksi kebutuhan pangannya sendiri.

Reporter: Rizky Alika