Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan kebijakan wajib tanam dan memproduksi bawang putih sebanyak 5% dari pengajuan impor tetap dilanjutkan. Kebijakan tersebut diyakini bukan penyebab atau pemicu kenaikan harga bawang putih di tingkat konsumen beberapa waktu lalu.
Direktorat Jenderal Hortikultura Moh. Ismail Wahab mengatakan program tersebut mendukung swasembada pemerintah. "Wajib tanam importir hanyalah salah satu pendekatan yang dilakukan pemerintah guna mendukung pencapaian target swasembada selain melalui dana APBN," kata dia seperti dikutip dari siaran pers, Senin (17/6).
Keterlibatan importir dalam proses wajib tanam dimaksudkan agar tumbuh kepedulian dan komitmen kebersamaan. Hal ini, lanjut Ismail, untuk juga bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional khususnya bawang putih.
Meski dalam pelaksanaannya diwarnai berbagai kekurangan, program wajib tanam dinilai menunjukkan berbagai keberhasilan. Keberhasilan program terlihat dari kenaikan luas panen pada tahun lalu hingga sebesar 250% dan kenaikan produksi 200% secara tahunan.
(Baca: Lima Importir Bawang Putih Bakal Kantongi Izin dari Kemendag)
Pemerintah memproyeksikan pasokan bawang putih konsumsi dalam negeri masih mengandalkan impor sampai dengan 2021. Sementara, produksi dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih tanam. Tahun ini, Kementan terus berupaya menggenjot produksi bawang putih lokal di lebih dari 100 kabupaten di seluruh Indonesia. Upaya tersebut juga didukung oleh APBN.
Menurut Ismail, hingga saat ini mekanisme penerbitan rekomendasi impor oleh Kementan dan persetujuan impor oleh Kementerian Perdagangan masih berjalan sesuai aturan. Pihaknya membantah ada upaya kesengajaan menciptakan kelangkaan pasokan sehingga memicu lonjakan harga, seperti yang terjadi pada Ramadan lalu.
Kementan menilai, stok carry over bawang putih masih mencukupi hingga April 2019. Ini berdasarkan data BPS 2018 yang menunjukkan realisasi impor bawang putih periode November/Desember 2018 mencapai 227,6 ribu ton. Sementara, kebutuhan nasional rata-rata sekitar 40 ribu ton sebulan.
Perkiraan tersebut juga telah memperhitungkan faktor susut bobot selama penyimpanan. Ismail pun menilai, tren kenaikan harga sudah mulai sejak Februari dan Maret 2019. "Bisa jadi ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan isu penerbitan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Hortikultura) dan SPI (Surat Persetujuan Impor) untuk mempengaruhi psikologi pasar," ujarnya.
(Baca: BPS: Harga Bumbu Makanan dan Tarif Tranportasi Naik, Inflasi Mei 0,68%)
Ismail mengakui bahwa kebijakan impor bawang putih nasional selama 7 tahun terakhir mengalami dinamika. Sejak tahun 2013 hingga 2017, bawang putih diatur dalam RIPH tanpa wajib tanam. Dampaknya, importir leluasa menguasai pasar bawang putih impor, bahkan bisa mencapai 96% lebih.
Pada 2017 lalu, pencanangan program swasembada oleh Menteri Pertanian, ditambahkan aturan wajib tanam bagi importir bawang putih. Kebijakan tersebut disikapi berbeda-beda oleh sekian banyak importir. "Ada yang mendukung, ada yang biasa-biasa saja, adapula yang justru melawan. Ini yang perlu juga dicermati bersama," ujar Ismail.
Ismail pun menjelaskan besaran wajib tanam RIPH tidak bisa mengacu kepada SPI. Proses RIPH lebih awal dibanding SPI karena wajib tanam ini lebih dimaksudkan untuk mewujudkan komitmen mendukung swasembada.
Ismail pun mengakui bahwa masih ada kekurangan dari kebijakan wajib tanam. Sejak 1996 sampai 2017, bawang putih lokal nyaris hilang dan petani-petani lama sudah banyak yang meninggal. Selan itu, riset bawang putih nyaris stagnan. "Kami sudah petakan itu semua. Evaluasi dan pembenahan terus dilakukan bersama," ujarnya.
(Baca: Strategi Unik Menuju Swasembada Bawang Putih)
Ismail menuturkan hingga saat ini Kementan telah mengantongi daftar hitam pada RIPH 2017 lalu. Setidaknya 38 dari 81 importir bawang putih tidak patuh aturan wajib tanam. Sementara, 15 importir masih bermasalah terkait importasi produk hortikultura. "Sementara bagi yang ogah-ogahan dan sengaja lari dari kewajiban, ya tidak dapat apa-apa," katanya.
Oleh karena itu, Ismail tidak menampik kemungkinan jumlah daftar hitam akan terus bertambah, seiring proses evaluasi wajib tanam RIPH 2018 dan 2019. Pihaknya melibatkan Inspektorat, KPK, Satgas Pangan, KPPU, DPR dan pihak-pihak lain dalam proses evaluasinya.