Blunder Eiger, Kesalahan Brand Hadapi Konsumen yang Berulang

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Pengunjung mengamati produk outdoor dalam Indonesia International Outdoor Festival (IIOutfest) 2019.
Penulis: Happy Fajrian
1/2/2021, 15.45 WIB

Eiger, brand (merek) alat-alat aktivitas luar ruang (outdoor) asal Bandung, menjadi perbincangan hangat sepanjang akhir pekan lalu. Pemicunya adalah surat ‘cinta’ yang dikirimkan kepada salah seorang YouTuber yang mengunggah video ulasan produk kacamata buatan Eiger.

Masalahnya, surat tersebut tidak mempersoalkan isi konten video yang diunggah kanal duniadian, melainkan soal aspek teknis seperti kualitas gambar hingga suara. Surat Eiger yang ditandatangani HCGA & Legal General Manager Hendra Lim tersebut pun meminta video tersebut dihapus atau diperbaiki.

Kasus seperti ini pernah terjadi sebelumnya, yakni pada 2019 antara Garuda Indonesia, tepatnya Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) melawan video blogger (vlogger) Rius Vernandes.

Ketika itu, Rius yang merupakan penumpang kelas bisnis Garuda membuat video yang menyoroti menu kelas bisnis yang hanya secarik kertas bertulisan tangan di Instagram story-nya @rius.vernandes. Ia juga memberi sedikit keterangan dalam video tersebut, “Menunya masih dalam percetakan Pak”.

Instagram story tersebut pun berujung dengan laporan polisi atas dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE (informasi dan transaksi elektronik) tentang pencemaran nama baik.

Pengamat marketing dan Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan kasus Eiger serupa dengan Garuda pada 2019. Namun kecerobohan atau blunder Garuda menurut dia lebih parah karena sudah masuk ke ranah hukum lewat pelaporan polisi.

“Betul (ada kesamaan), dan ini akan sering terjadi. Dengan jumlah YouTuber dan reviewer yang semakin banyak, kasusnya akan semakin beragam. Blunder Garuda lebih parah karena sudah masuk ke ranah hukum,” ujarnya kepada Katadata.co.id.

Oleh karena itu Yuswohady menyarankan agar brand, siapapun itu, tidak hanya Eiger, lebih berhati-hati dalam merespons komentar dari konsumen, dan menggunakan pendekatan personal seperti mengajak bertemu langsung atau melalui sambungan telepon.

"Jangan menggunakan menggunakan media yang dapat disebarluaskan ke ranah publik seperti email atau surat elektronik (surel) yang akhirnya viral," kata dia.

Surat Eiger (Twitter @duniadian, @eigeradventure)

Director-Senior Consultant Inke Maris & Associates, Widyaretna Buenastuti, mengatakan bahwa kasus yang dialami Eiger murni sebagai miskomunikasi perusahaan atau brand yang mengakibatkan kegaduhan publik. Ini berpotensi menggerus brand identity produk dan reputasi perusahaan.

“Miskomunikasi dalam kasus ini timbul karena cara penyampaian perusahaan yang kurang tepat, bermaksud memberikan masukan kepada reviewer agar lebih baik lagi. Tapi karena penyampaiannya sedemikian rupa, akhirnya tidak diterima dengan baik oleh konsumen,” ujarnya.

Dia memaparkan ada tiga faktor yang mengakibatkan krisis komunikasi ini, pertama, penggunaan bahasa hukum kepada konsumen untuk konten yang tidak berhubungan dengan hukum.

Kedua, surat disampaikan secara tertulis dan formal dari bagian hukum kepada konsumen tanpa ada unsur hukumnya. Serta ketiga, ada unsur kata-kata yang memerintah konsumen untuk memperbaiki dan menghapus konten, daripada merangkul.

Selain Eiger, Widyaretna juga mencontohkan kasus tagar #uninstallbukalapak sebagai contoh lain kegagalan komunikasi perusahaan atau brand dengan publik. Hanya saja kasus Bukalapak lebih berkaitan dengan situasi politik yang menjelang pemilihan presiden.

Ketika itu CEO Bukalapak Ahmad Zaky men-tweet tentang anggaran penelitian dan pengembangan (litbang) Indonesia yang minim. Dia menggunakan kata-kata ‘presiden baru’ dalam cuitannya tersebut yang diartikan warganet sebagai dukungan penantang petahana Presiden Joko Widodo, “mudah-mudahan presiden baru bisa naikin (anggaran litbang)”.

Good PR: Kasus Burger King

Adapun praktik public relations (PR) yang baik dapat dilihat pada cuitan restoran cepat saji Burger King beberapa waktu lalu yang dengan sukarela mengajak pelanggannya untuk membeli makanan dari perusahaan kompetitor seperti McDonalds, KFC, Wendy’s, Pizza Hut, dan restoran cepat saji lainnya.

Dilansir dari akun Instagram @burgerking.id, admin perusahaan memposting sebuah pengumuman berjudul "Pesanlah dari Mcdonalds". Dalam pesannya itu admin Burger King mengatakan bahwa, “tak pernah terpikirkan oleh kami untuk meminta Anda melakukan ini, tapi semua restoran yang memiliki beribu karyawan membutuhkan pertolongan Anda saat ini”.

Ilustrasi Whooper Burger milik perusahaan Burger King. (Burger King / Instagram)

Pasalnya restoran-restoran cepat saji ini bisnisnya tengah dalam tekanan karena penjualan yang minim akibat pandemi corona yang membuat orang enggan makan di luar rumah.

"Jika ingi membantu, tetap manjakan diri Anda dengan makanan lezat melalui pesan antar, take away atau drive-thru. Menikmati Whooper pilihan terbaik, tapi memesan Big Mac juga tidak ada salahnya," tulis Burger King dalam pengumumannya.

Pengajar Brand dari Universitas Multimedia Nasional (UMN), Trihadi Purdiawan Erhan mengatakan, bila dipandang dari kacamata awam, apa yang dilakukan oleh Burger King tampak kontra produktif karena secara suka rela mempromosikan merek pesaing.

Namun, terlepas dari tulus atau tidaknya niat dari Burger King untuk melakukan endorsement terhadap merek pesaingnya, strategi komunkasi ini mampu menarik banyak simpati publik yang menghasilkan exposure cukup besar terhadap perusahaan.

"Selain itu Burger King juga akan mendapatkan citra yang postif dari kampanye tersebut, walaupun tidak akan berdampak secara langsung kepada perusahaan dalam bentuk penjualan " kata Trihadi kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Burger King memang jagonya membuat iklan yang menarik perhatian publik. Seperti iklan Whooper, salah satu menu Burger King, yang mulai membusuk dan berjamur. Ini demi menyampaikan pesan bahwa produknya dibuat dengan bahan segar, tanpa pengawet dan pewarna buatan.