Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) menyebut perubahan batas nilai barang impor yang terkena bea masuk dan pajak tak berdampak signfikan terhadap transaksi e-commerce. Pasalnya, , jumlah transaksi perdagangan e-commerce lintas batas (cross border) atau impor kiriman hanya mencapai 5% dari keseluruhan transaksi.
"Kecil, tidak sampai double digit. Besarannya 5%, jadi tidak ada dampak signifikan dari kebijakan ini," ujar Manajer Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah idEA Rofi Uddarojat di Jakarta, Kamis (23/1).
Ia menjelaskan, transaksi perdagangan masih ditopang oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di dalam negeri. Oleh karena itu, ia optimistis transaksi pada e-commerce tidak terdampak kebijakan pemerintah untuk memperketat impor barang kiriman tersebut.
(Baca: E-Commerce Berpotensi Kenakan Biaya Tambahan pada 2020)
Sebelumnya, pemerintah mengubah ambang batas pengenaan bea masuk terhadap impor barang kiriman, dari US$ 75 atau sekitar Rp 1,05 juta menjadi US$ 3 atau sekitar Rp 42 ribu per invoice mulai akhir Januari 2020. Kebijakan tersebut terutama berlaku pada barang kiriman melalui e-commerce.
Barang kiriman yang bernilai US$ 3 ke atas akan dikenakan bea masuk 7,5% dari nilai barang. Selain itu, barang kiriman akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% dan Pajak Penghasilan (PPh) 0% untuk barang umum.
(Baca: Jutaan Barang Impor Masuk, Ritel Kehilangan Potensi Rp 51,5 T di 2019)
Adapun ketentuan tersebut dikecualikan untuk tiga barang, yakni tas, sepatu, dan produk tekstil. Ketiga produk ini akan dikenakan PPN dan PPh mengikuti bea masuk tarif normal.
Tarif bea masuk normal untuk tas berkisar antara 15-20%, sepatu 25-30%, dan tekstil 15-35%. Sementara untuk PPN yang dikenakan yakni 10%, beserta PPh kisaran 7,5-10%. Adapun impor barang kiriman berupa buku tidak dikenakan bea masuk, PPN, dan PPh.