Tiga Regulasi Bisnis Digital yang Masih Ditunggu

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
19/4/2018, 22.34 WIB

Memasuki masa transisi dari ekonomi berbasis Sumber Daya Alam (SDA) ke digital, pemerintah mulai merintis payung hukum. Namun, ada tiga aturan terkait e-commerce hingga fintech yang mamsih ditunggu dunia usaha.

Pertama, regulasi terkait perdagangan online (e-commerce) mulai dari pajak hingga mekanisme impor barangnya. Untuk pajak, pemerintah sudah sejak tahun lalu berencana merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait e-commerce, yang hingga kini masih tertunda.

(Baca juga: Sri Mulyani Akui Sulit Buat Regulasi Bisnis Digital)

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, aturan yang mendorong kesetaraan atau level of playing field antara pedagang online dan offline ini bakal terbit akhir April. "Dua minggu lagi, Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) akan keluarkan PMK soal pajaknya," kata dia, di Jakarta, pekan lalu.

Salah satu ganjalannya adalah rencana pemerintah untuk menarik pajak dari transaksi di penyedia lapak digital atau marketplace. Rencana ini ditolak Asosiasi E- Commerce Indonesia (idEA) karena akan membuat banyak pengusaha kecil mengalihkan dagangannya ke media sosial yang masih bebas pajak.

(Baca juga: Pengusaha e-Commerce Minta Penjual di Media Sosial Ikut Kena Pajak)

Kepala Divisi Pajak, Infrastruktur, dan Keamanan Siber idea, Bima Laga kemudian mengusulkan agar Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengenakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) virtual kepada pedagang di media sosial.

Selain masalah pajak, pemerintah juga merisaukan banyaknya barang impor yang diperdagangkan di e-commerce seperti Lazada, Blibli. Kementerian Perdagangan pun sempat mewacanakan kewajiban menjual minimal 80% produk dalam negeri pada marketplace. Namun, wacana itu belum juga terealisasi.

Regulasi lain yang tak kunjung terbit adalah menyangkut operasional perusahaan raksasa penyedia konten internet (Over the Top/OTT) seperti Google dan Facebook.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pernah menjanjikan bahwa regulasi soal pajak OTT bakal terbit kuartal pertama 2018. Rencananya, aturan tersebut akan mengacu pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) terbaru yang dirilis pada Mei 2017 lalu. Artinya, pajak OTT dipungut dengan skema perusahaan terbatas (PT) bukan Badan Usaha Tetap (BUT).

Namun, hingga memasuki kuartal kedua 2018, aturan tersebut belum juga dirilis pemerintah. Rudiantara mengatakan kebijakan itu bakal terbit setelah Google memenuhi kewajiban Tahun Pajak 2016. “Masa Google bisa, yang lain tidak?” kata dia beberapa waktu lalu.

(Baca juga: Hanya 7,39% Pengguna Internet Indonesia Pakai Aplikasi Perbankan)

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemungutan pajak dengan skema PT akan lebih mudah dibanding BUT. Sebab, BUT merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan induk, sehingga pajaknya pun mudah dimanipulasi. “Kalau PT sudah terpisah (dari perusahaan aslinya atau induk),” ujarnya.

Ketiga, aturan mengenai financial technology (fintech). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang sudah menerbitkan aturan terkait Peer to Peer (P2P) Lending. Namun, fintech memiliki banyak jenis seperti equity crowdfunding, insurTech, dan RoboAdviser. OJK pun menargetkan peraturan inovasi keuangan digital--yang mencakup keseluruhan fintech--selesai Juni 2018.

"Mungkin akan lama karena melibatkan banyak Kementerian dan Lembaga (K/L)," ujar  Direktur Inovasi Keuangan Digital OJK Fithri Hadi.

Reporter: Desy Setyowati