Geliat Kantor Pos Bertahan dari Tekanan Era Digital

ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Pos Indonesia
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
17/2/2018, 17.00 WIB

Di awal bulan ini, misalnya, Pos Indonesia menjalin kerja sama dengan Blibli.com. Melalui kongsi tersebut, e-commerce di bawah naungan konglomerasi grup Djarum ini memperoleh hak istimewa untuk membuka gerai Blibli Instore di seluruh Kantor Pos, terutama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Jawa Barat. Langkah tersebut sekaligus strategi Blibli.com dalam memperluas pasar dengan membawa pelanggan Pos Indonesia go digital.

Beberapa fasilitas yang ditawarkan di antaranya pembayaran menggunakan Pospay dan pengiriman barang melalui pos kilat khusus. Juga, Pos Indonesia melayani pengembalian atau retur barang secara gratis bagi yang bertransaksi di kios Blibli Instore. (Baca juga: Blibli.com Pasang Kios Belanja Online di Kantor Pos)

Kekuatan jaringan Pos Indonesia yang tersebar hingga pelosok Tanah Air menjadi pertimbangan utama CEO Blibli.com Kusumo Martanto dalam kerja sama ini. Daya jangkau hingga daerah terpencil merupakan prospek besar dalam memperluas pangsa pasar Blibli.com.

Pertautan simbiosis mutualisme ini yang menurut Direktur Utama PT Pos Indonesia Gilarsi W Setijono sebagai terobosan sarat manfaat. Bagi Gilarsi, kerja sama tadi turut membantu dalam memperkenalkan belanja secara digital kepada pelanggan yang belum tersentuh teknologi dan penggunaan aplikasi belanja online dengan baikHadirnya e-commerce di Kantor Pos, ujar Gilarsi, juga diharapkan menambah segmen pelangan baru.

Berbagai langkah tersebut merupakan upaya Pos Indonesia menghadapi perubahan zaman. Dahulu, orang lebih akrab menyebutnya dengan Kantor Pos. Ini merujuk pada warisan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal G.W Baron van Imhoff. Ia mendirikan Kantor Pos pertama di Batavia atau Jakarta pada 26 Agustus 1746. Empat tahun kemudian, berdiri Kantor Pos Semarang.

Tujuan utamanya kala itu untuk menjamin keamanan surat-surat penduduk, terutama bagi mereka yang berdagang di kota-kota di luar Jawa, juga memberi layanan korespondensi antara Hindia Belanda dan Negeri Belanda. Jasa pengantaran inilah yang menjadi tulang punggung perusahaan, termasuk setelah Indonesia merdeka, apapun status badan hukumnya mulai dari jawatan, perusahaan umum (perum), hingga pada 1995 menjadi perseroan terbatas (PT).

Lantaran masih berkutat pada lini bisnis pengantaran, Pos Indonesia cukup gagap ketika teknologi berkembang dengan cepat. Bisnis yang pertama kali terpukul adalah pegiriman surat pada pertengahan 2000. Ketika itu, telepon selular mulai menjamur. Orang makin berkurang mengirim kabar melalui selembar kertas dan beralih ke pesan pendek SMS. Tak ayal, dari 2004 hingga 2008, pendapatan perusahaan terjun bebas. Bahkan, selama empat tahun itu, PT Pos Indonesia dikabarkan merugi tak kurang dari Rp 606 miliar.

Pukulan berikutnya datang ketika pemerintah meliberalisasi sektor logistik. Dalam waktu sebentar, bermunculan perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak pada jasa ekspedisi. Lagi-lagi, Pos Indonesia terdesak ketika para pemain baru menawarkan aneka inovasi, seperti layanan jemput bola pengiriman barang.

Baru mulai 2009 Pos Indonesia mencoba bangkit. Mereka membuat sejumlah terobosan, terutama dalam meningkatkan mutu pelayanan. Penopang utamanya yaitu memperkuat sistem teknologi informasi. Dua tahun kemudian mulai terlihat hasilnya. Dari 3.800 kantor pos, sekitar 3.700 telah menggunakan sistem online.

Pasarnya pun diperluas hingga luar negeri, yaitu membidik negara-negara yang banyak menyerap tenaga kerja Indonesia. Misalnya, dalam jasa pengiriman uang, Pos Indonesia menggandeng Pos Malaysia melalui wesel ekspres international atau international express money order dan paket cepat PRIMA International (prepaid parcel).

Pos Indonesia juga mengembangkan unit-unit bisnis baru. Di antara ekspansi yang dilakukan yaitu mendirikan Pos Properti Indonesia pada akhir 2013. Anak usaha ini melayani pengelolaan dan penyewaan perkantoran, juga jasa penyelenggaraan rapat, konvensi, hingga pameran.

Ketika perusahaan-perusahaan rintisan atau startup digital mulai banyak bermunculan, Pos Indonesia mencoba ikut membaur. Tahun lalu, perseroan mengucurkan Rp 1 triliun untuk bertransformasi menuju digitalisasi sistem bisnis. Dana tersebut disebar ke divisi informasi teknologi hingga revitalisasi kendaran angkut. Moto yang ditawarkan oleh Gilarsi W. Setijono yaitu kecepatan dengan kepastian, keamanan, kompetitif, aksesbilitas, dan pergeseran branding.

Aksi korporasi terbaru yang dilakukan yaitu menggandeng Kioson dengan meluncurkan Kios-Pos pada Selasa pekan lalu. Program ini memungkinkan mitra Kioson untuk menyediakan layanan layaknya agen pos, antara lain jasa kurir dan pembayaran. Strategi bisnis itu diharapkan membantu peningkatan pengiriman paket hingga 45 persen pada tahun ini.

(Baca juga: Pos Indonesia dan Kioson Luncurkan Kios-Pos)

“Kami senang bekerja sama dengan Kioson yang telah memiiki 30.000 mitra di seluruh Indonesia,” kata Direktur Informasi dan Teknologi Pos Indonesia Charles Sitorus di Jakarta. Bisa jadi, langkah-langkah seperti itu yang akan menjaga Pos Indonesia bertahan di era digital saat ini.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Pingit Aria