OJK: Inklusi Keuangan Meningkat Pesat Meski Belum Capai Target 75%

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi FIntech Asetku di acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9). Inklusi keuangan di Indonesia diperkirakan tidak akan mencapai target 75%.
24/9/2019, 15.11 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa tingkat inklusi keuangan di Indonesia diperkirakan belum dapat mencapai target pemerintah sebesar 75% tahun ini meskipun telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dibandingkan negara-negara lain di Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir.

Data Bank Dunia mencatat, tingkat inklusi keuangan di Indonesia berkembang pesat hingga mencapai 49% pada 2017. Namun Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyebutkan, menurut estimasi OJK, tingkat inklusi keuangan nasional tahun ini hanya akan mencapai 65%. Salah satu kendala dalam mencapai target tersebut adalah dari segi infrastruktur.

"Sekitar 65% penduduk Indonesia telah terhubung ke internet. Namun, belum tentu mereka terkoneksi ke layanan keuangan. Jadi,  kami ingin bisa meningkatkan akses mereka terhadap layanan tersebut," ujarnya di acara Fintech Summit di JCC, Jakarta, Selasa (24/9).

Dia menjelaskan, OJK selama ini telah berupaya untuk mendorong inklusi keuangan di Indonesia, yakni melalui berbagai program seperti Layanan Keuangan Tanpa Kantor untuk Keuangan Inklusif (Laku Pandai) serta mendorong komunitas-komunitas agen untuk menanggung atau melakukan pinjaman, dan sebagainya.

(Baca: Ada Fintech, BI Optimistis Inklusi Keuangan Capai Target 75% Tahun Ini)

"Pemerintah ingin mendorong inklusi keuangan agar bisa menjangkau peluang bagi para institusi atau pelaku usaha agar mereka bisa mendorong inovasi keuangan digital, khususnya melalui fintech," ujarnya.

Nurhaida menjelaskan, hingga saat ini Indonesia telah memiliki lebih dari 200 perusahaan fintech yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan tahun 2016, jumlah fintech di Indonesia masih di bawah 100 perusahaan. "Jadi ini sangat menarik, peluang fintech ini terus berkembang di Tanah Air," ujarnya.

Fintech Sasar Pelaku UMKM

OJK bakal mendorong inklusi keuangan dalam dua hal, yakni untuk menabung dan mendorong pinjaman modal usaha, khususnya bagi para pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM). "Agar mereka juga bisa menggunakan modal usaha itu untuk meningkatkan pendapatan mereka," ujarnya.

Pasalnya, menurut dia, lembaga keuangan formal saat ini hanya dapat menembus 20% dari UMKM. Data OJK pun menunjukkan, dari 59 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 12% dari merekayang memiliki akses ke layanan pinjaman karena minimnya akses yang mereka miliki.

(Baca: Menteri Darmin: Fintech di Indonesia Hadapi Empat Tantangan)

Padahal, UMKM berkontribusi hingga 60% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Namun perusahaan fintech lending dapat memfokuskan hingga 80% pinjamannya kepada pelaku UMKM.  

"Fintech berusaha menemukan cara untuk mengambil 40% masyarakat yang tidak memiliki rekening bank. Inilah mengapa saya percaya bahwa fintech, melalui dukungan dan bimbingan yang tepat dari regulasi, akan dengan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujarnya.

Mitigasi Risiko Fintech

OJK mencatat, saat ini ada sekitar 127 fintech lending yang sudah mendapatkan izin dari OJK. Selain itu, mereka telah menyalurkan dana sebesar Rp 44,8 triliun dengan sekitar 9,74 juta peminjam (borrower) dan 498.000 pemberi pinjaman (lender).

Sebagai regulator, Nurhaida memastikan bahwa OJK tidak akan terlalu ketat dalam pengaturan. Salah satu yang terpenting adalah mendorong transparansi dari berbagai pihak, mulai dari peminjam, pemberi pinjaman, termasuk platform itu sendiri.

(Baca: Menteri Darmin Beri Empat Tugas kepada Pelaku Industri Fintech)

"Jadi akan kami selalu awasi ketiga pihak ini agar sesuai aturan POJK 13 mengenai Digital Innovation, karena sudah diatur persyaratannya dan transparansinya bagaimana, serta ini juga untuk menjaga kerahasiaan nasabah," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, OJK juga telah berkolaborasi dengan beberapa instansi lainnya untuk mendorong penerapan layanan keuangan digital di masyarakat. Nurhaida optimistis, ke depan tingkat inklusi keuangan di Indonesia bakal naik apalagi kini masyarakat tengah dihadapi dengan fenomena 'ledakan digital'.

"Munculnya teknologi baru, itu menjadi kekuatan kami. Bahkan, Indonesia memiliki pasar yang potensial bagi perusahaan multinasional atau luar negeri karena faktor demografinya," ujarnya.

Dengan munculnya inovasi keuangan digital, menurutnya, pasar keuangan digital dapat terpapar pada risiko-risiko baru. Misalnya, masalah kerahasiaan data serta masalah transaksi lintas batas (cross border). Selain itu, industri fintech juga berpotensi menjadi tempat untuk melakukan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Oleh karena itu, tingkat literasi keuangan digital pada konsumen harus ditingkatkan juga. "Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko-resiko yang mungkin terjadi, sehingga konsumen harus mempelajari hubungan antara resiko pinjaman di fintech," ujarnya.

(Baca: Dorong Inklusi Keuangan, Pemerintah Akan Berikan Subsidi Kepada Tekfin)

Reporter: Cindy Mutia Annur