Perlu 3 Tahun bagi Fintech Indonesia Susul Tiongkok

rawpixel/123rf
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Pingit Aria
23/11/2018, 10.42 WIB

Menurutnya, alasan adopsi fintech sangat tinggi di Tiongkok dan India karena infrastruktur internet yang tersedia. "Isunya (di Indonesia) adalah infrastruktur. Sepanjang terjangkau dan produk bisa masuk, lalu ada sosialisasi, fintech akan diadopsi," kata Kuseryansyah.

Terlebih lagi, ia melihat pelaku fintech nasional sangat progresif menyasar pasar Indonesia. Sebagaimana diketahui, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa atau Go-Jek (termasuk Go-Pay) sudah hadir di beberapa kota di Papua. Begitu pun dengan aplikasi mobile financial services dari Telkomsel, TCash yang menyediakan layanan pembayaran tagihan air dari Aceh hingga Papua.

Pemain asing yang masuk ke Indonesia seperti Grab pun cukup ekspansif. Alhasil, masyarakat Papua juga bisa melakukan isi ulang (top up) OVO lewat mitra Grab. Belum lagi, fintech asal Tiongkok yakni WeChat dan Alipay berencana masuk Indonesia lewat PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). "Kehadiran mereka akan menambah dinamis dan coverage layanan keuangan terutama payment," ujarnya.

(Baca juga:  Setelah Google, Asosiasi Dekati Apple Blokir Aplikasi Fintech Ilegal)

Kendati begitu, ia optimistis pemain lokal bisa bersaing dengan pelaku fintech internasional. Sebab, pemain lokal lebih memahami kebutuhan dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, perlu diperhatikan pula bila pemain global tersebut bermitra dengan pemain lokal. "Seharusnya pemain lokal lebih unggul, karena memahami perilaku pasar," kata dia.

Sejalan dengan hal ini pula, ia optimistis target pemerintah mendorong inklusi keuangan dari 49% saat ini, menjadi 75% pada 2019. Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo ) Lis Lestari Sutjiati mengatakan, inklusi keuangan hanya mencapai 59% bila mengandalkan industri keuangan konvensional saja. "Masih ada gap 16% (35 juta penduduk) ini yang bisa digarap oleh fintech," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati