Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bersama Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) membuat kajian tentang peran fintech terhadap perekonomian Indonesia. Dari kajian itu, kontribusi fintech lending terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 26 triliun.
Sumbangan itu terhitung sejak diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi pada Desember 2016 lalu. "Hasil penelitian empiris, keberadaan fintech di Indonesia meningkatkan PDB Rp 26 triliun," ujar Ekonom Indef Bhima Yudhistira saat diskusi di Fintech Space, Jakarta, Selasa (28/8).
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan total PDB Indonesia mencapai Rp 13.588,8 triliun atau Rp 51,9 juta per kapita pada 2017.
Adapun besaran sumbangan itu dihitung berdasarkan dampak dari pinjaman fintech terhadap perkembangan 21 bisnis sektor. Terhadap sektor jasa keuangan, misalnya, fintech diklaim berkontribusi Rp 7,4 triliun. Lalu, sumbangan fintech terhadap sektor perdagangan selain kendaraan Rp 7,2 triliun. "Kami melakukan analisis input-output PDB dibagi 21 sektoral, total kontribusinya Rp 26 triliun," kata dia.
(Baca juga: Kaum Milenial Dominasi Pembelian Reksa Dana di E-Commerce)
Dampak fintech terhadap perkembangan bisnis di 21 sektor itu juga diukur dari peningkatan konsumsi masyarakat. Misalnya, pinjaman fintech ke sektor mikro meningkatkan pendapatan rumah tangga. Alhasil, kemampuan setiap rumah tangga untuk konsumsi meningkat Rp 8,94 triliun setiap tahunnya.
Secara tidak langsung, kondisi tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan tenaga kerja. Hitung-hitungannya, kehadiran fintech menyumbang penyerapan tenaga kerja sebesar 215.433 orang. Alhasil, fintech menyumbang pendapatan tenaga kerja Indonesia sebesar Rp 4,6 triliun per tahun. "Data yang menjadi dasar perhitungannya itu kami ambil dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," ujarnya.
Hanya, menurut Bhima, peran fintech kurang optimal karena beberapa hambatan. Di antaranya, prinsip pengenalan nasabah (Know Your Costumer/KYC) yang mengharuskan tatap muka dan tanda tangan basah; prosedur channeling dari lembaga jasa keuangan ke fintech yang belum jelas; dan, belum adanya sistem untuk fintech dalam penyelenggaraan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
(Baca juga: Tunda IPO, Tokopedia dan Bukalapak Fokus Perluas Pasar)
Direktur Aftech Ajisatria Suleiman pun merekomendasikan perlunya kebijakan yang mampu menekan biaya akusisi nasabah, meminimalisasi risiko fraud, dan juga melindungi konsumen yang beritikad baik. "Kami berharap risiko fraud dari nasabah palsu dan risiko gagal bayar dapat diminimalisasi dengan penguatan akses identitas berbasis biometrik dan juga akses ke layanan biro kredit," ujarnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa aturan terkait e-KYC dari OJK memang sudah ada. Hanya, implementasi di level teknisnya belum maksimal, terutama yang bersifat lintas kementerian seperti dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Adapun, saat ini terdapat 66 fintech lending yang kini terdaftar di OJK. Seluruh fintech tersebut sudah menyalurkan pinjaman senilai Rp 7,8 triliun per Juli 2018.