Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta penyelenggara teknologi finansial pembiayaan (fintech lending) rutin memberikan edukasi kepada masyarakat. Langkah ini dinilai bisa menekan risiko kredit macet dan upaya penipuan.
Deputi Direktur Pengaturan Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK Munawar Kasan menjelaskan, ada kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan. Inklusi mencapai 76,19%, sementara literasinya 38,03%.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016, inklusi adalah setiap anggota masyarakat yang mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan. Sedangkan literasi ialah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku dalam mengambil keputusan dan mengelola keuangan.
Inklusi yang jauh melebihi literasinya itu menunjukkan bahwa pemahaman sebagian pengguna layanan keuangan minim. “Semakin banyak yang memakai produk fintech lending, tetapi tidak semuanya paham," kata Munawar dalam Webinar Peran Literasi Keuangan Digital Bantu Pemulihan Ekonomi Nasional, Rabu (7/10).
Ia menilai, akan ada beberapa persoalan yang timbul akibat kondisi tersebut. Salah satunya, pengguna jadi tidak memahami produk apa yang dibutuhkan.
Selain itu, tidak memahami risiko setiap produk maupun kemampuan membayar cicilan. "Banyak orang gali lubang tutup lubang," ujar dia.
Bahkan, OJK mencatat ada satu debitur yang meminjam di ratusan platform fintech lending. "Pasti orang seperti ini tidak paham. Literasi keuangannya kurang. Kalau mau bijak, hitung kemampuan bayar," katanya.
Pengguna yang pemahamannya minim juga rentan ditipu. Ia mencontohkan, masih ada yang menggunakan layanan pinjaman online ilegal.
Padahal, platform ilegal mengambil data pribadi pengguna. Data ini kemudian dapat disalahgunakan untuk penipuan.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar penyelenggara fintech lending gencar mengedukasi masyarakat. "Literasi dan edukasi sangat kami tekankan," kata Munawar.
Regulator pun menggelar edukasi setidaknya 12 kali dalam setahun. OJK utamanya menyasar pengguna di luar Pulau Jawa, karena literasi dan inklusi keuangannya masih rendah.
Untuk transaksi fintech lending di luar Pulau Jawa hanya 15% dari total.
Munarwan menilai, edukasi rutin dapat meningkatkan inklusi dan literasi keuangan. Harapannya juga dapat menekan risiko kredit macet dan platform pinjaman online ilegal.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan rutin mengedukasi masyarakat. Asosiasi menyasar milenial, salah satunya dengan menggaet universitas.
"Kami dorong tidak hanya kerja sama antarpenyelenggara, tetapi juga asosiasi agar sosialisasi semakin masif," ujar Kuseryansyah.
Berdasarkan data OJK, penyelenggara fintech lending menyalurkan pinjaman Rp 121,87 triliun per Agustus. Nilainya tumbuh 122,74% secara tahunan (year on year/yoy).
Sedangkan pinjaman yang masih berjalan atau outstanding Rp 12,13 triliun. Nilainya tumbuh 25,27% yoy.