Tiga Strategi Fintech Genjot Kredit ke Sektor Produktif dan Luar Jawa

Ajeng Dinar Ulfiana|KATADATA
(ki-ka) Sri Mulyani Menteri Keuangan Indonesia, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono Gani, Perry Warjiyo Gubernur Bank Indonesia dan moderator dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Center,  Jakarta (23/9/2019).
7/12/2020, 16.45 WIB

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyiapkan regulasi baru yang mengatur minimal penyaluran pinjaman ke sektor produktif dan luar Jawa. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pun sudah menyiapkan tiga strategi untuk memenuhi ketentuan ini.

Pertama, memperluas kolaborasi startup teknologi finansial pendanaan (fintech lending) dengan korporasi lain terkait pembiayaan bersama alias join financing. Ini dinilai dapat meningkatkan rasio penyaluran kredit ke sektor produktif.

“Itu terobosannya. Kami melihat dua jenis fintech bisa join financing untuk memenuhi rasio kredit ke sektor produktif dari OJK," kata Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi  dalam acara konferensi pers virtual bertajuk ‘Outlook Industri Peer to Peer Lending 2021’, Senin (7/12).

Kedua, menggandeng Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk memperluas penyaluran pinjaman ke luar Jawa. Adrian menilai, fintech lending unggul dari sisi teknologi dan penilaian risiko kredit (credit scoring). Sedangkan BPD dan BPR memiliki pemahaman lokal dan aspek rrsiko pada tiap industri di daerah.

Terakhir, asosiasi berencana membuat pusat pengembangan atau hub. "Ada hub Timur dan Barat. Ini untuk meningkatkan engagement dengan ekosistem di sana," ujar Adrian pada November lalu (24/11).

Ketiga strategi merupakan persiapan AFPI sebelum OJK menerbitkan aturan baru terkait fintech lending. Berdasarkan kajian sejauh ini, otoritas berencana mendorong perusahaan menyalurkan pinjaman ke sektor produktif secara bertahap dalam tiga tahun. Pada tahun pertama 15%, kedua 30%, dan ketiga sudah harus 40%.

Pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 yang ada saat ini, fintech lending hanya diwajibkan menyalurkan pinjaman minimal 20% ke sektor produktif. OJK ingin porsinya ditambah, karena penyalurannya dinilai minim selama ini.

OJK juga ingin porsi pendanaan di luar Jawa meningkat yakni menjadi 25% dalam tiga tahun secara bertahap. Pada tahun pertama 15%, kedua 20%, dan ketiga 25%. 

Saat ini, regulasi itu masih dalam proses penyusunan atau rule-making. "Kami sudah minta pendapat publik. Itu sebagai bagian dari proses pembuatan aturan," kata juru bicara OJK Sekar Putih Djarot kepada Katadata.co.id, pekan lalu (24/11).

Analis Senior Direktorat Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tomi Joko Irianto berharap, fintech lending lebih banyak menyasar sektor produktif, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang terpukul pandemi corona. "Harapannya sampai 60% dari total," kata Tomi saat konferensi pers virtual, September lalu (29/9).

Berdasarkan catatan dari OJK, pada Juni lalu, penyaluran pinjaman ke sektor produktif oleh penyelenggara fintech lending yakni 34% dari total. Mayoritas penyaluran kreditnya menyasar sektor konsumtif, yaitu 66% dari total Rp 113,46 triliun.

Laporan DSResearch dan AFPI juga menunjukkan bahwa 36,1% peminjam (borrower) di sektor produktif meminjam uang dari fintech lending Rp 2,5 juta-25 juta. Kemudian, 17,6% lebih dari Rp 500 juta.

Lalu, 6,5% masing-masing meminjam Rp 25 juta-100 juta dan Rp 100-500 juta. Sedangkan data penyaluran pinjaman produktif oleh fintech lending tersaji pada Databoks di bawah ini:

Data OJK juga menunjukkan bahwa akumulasi penyaluran pinjaman ke luar Jawa hanya mencapai Rp 19,84 triliun atau 16,8% dari total per Oktober.

Berdasarkan riset dari DSResearch dan AFPI, area cakupan pinjaman dari fintech lending mayoritas di Jakarta, yakni 92,7%. Sedangkan yang terkecil di Maluku dan Papua, 37,6%.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan