Beberapa waktu lalu, viral cerita seorang guru TK di Malang yang terlilit utang dari 24 platform pinjaman online (fintech lending). Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengatakan ada lima anggotanya yang turut memberikan pinjaman kepada guru TK tersebut.
Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah mengatakan dari lima anggotanya yang memberikan pinjaman, salah satunya sudah menyelesaikan proses pelunasan. AFPI bersama empat anggota lainnya kini berkomunikasi dengan pihak guru TK tersebut beserta kuasa hukumnya.
"Kini tinggal ada empat platform legal anggota kami. Dua di antaranya sedang dalam proses pelunasan," katanya dalam konferensi pers virtual pada Jumat (21/5).
Dalam menyelesaikan pelunasan pinjaman itu, kelima anggota AFPI telah memberikan keringanan kepada guru TK. Sedangkan, Kuseryansyah mengklaim, kelima platform anggota AFPI itu juga tidak memberikan teror apapun terhadap peminjamnya.
"Banyaknya ancaman teror itu dilakukan oleh platform pinjaman illegal," kata Kuseryansyah.
Ketua Klaster Fintech Pendanaan Multiguna AFPI Rina Apriana menambahkan dalam melakukan penagihan, asosiasi mempunyai kode etik yang harus ditaati semua anggotanya.
Beberapa kode etik tersebut di antaranya dilarang menggunakan ancaman kekerasan dan mempermalukan peminjam. Mereka dilarang menggunakan kekerasan fisik maupun perbal dan tidak boleh menyebarkan data pribadi peminjam. "Kalau ada praktik ini kami ada situs resmi untuk melaporkannya," kata Rina.
Guru TK di Malang terlilit utang hingga Rp 40 juta dari 24 platform fintech lending. Awalnya, ia meminjam uang dari lima platform untuk keperluan biaya pendidikan. Namun, utangnya terus membengkak karena ia tidak mampu membayarnya. Dia pun diberhentikan dari tempat kerjanya.
Ia juga sempat diteror oleh penagih utang dari platform penyedia pinjaman online ilegal. Bahkan, karena tertekan, ia sempat berkeinginan untuk bunuh diri.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Tobing mengatakan kasus tersebut seharusnya menjadi pembelajaran agar masyarakat mengantisipasi berbagai risiko yang terjadi saat meminjam sejumlah dana melalui platform pinjaman online. Apalagi, masih banyak masyarakat yang meminjam dana ke platform fintech lending ilegal.
"Ini sangat membahayakan masyarakat," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (20/5). Sebab, kegiatan penagihan utang pada platform fintech lending ilegal dilakukan secara tidak beretika. Bahkan, disertai dengan teror, intimidasi atau pelecehan, seperti yang dialami guru TK tersebut.
Dia pun meminta agar masyarakat lebih jeli dan tidak mengakses platform ilegal. Karena sudah banyak juga korban platform fintech lending ilegal. SWI mencatat, pada April kemarin, terdapat 86 platform fintech lending ilegal baru dan 26 kegiatan usaha tanpa izin yang berpotensi merugikan masyarakat.
Sejak 2018, SWI telah memblokir 3.198 fintech lending ilegal. Padahal, hingga saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya memberikan izin usaha kepada 148 fintech lending yang terdaftar.
Maraknya fintech ilegal sejalan dengan meningkatnya jumlah pengaduan ke OJK. Pada Desember 2020, terdapat 6.787 aduan. Sementara pada Maret 2021, total pengaduan ke OJK mencapai 5.421 aduan.
Di luar OJK, tak sedikit nasabah fintech yang mengadukan masalahnya ke lembaga lain. Misalnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang pada Desember 2018 menerima 1.330 aduan. Jumlah aduan tersebut meningkat lebih tiga kali lipat menjadi 4.500 aduan pada Juni 2019.