Hal ini membuat para investor cenderung menjual aset yang berisiko, seperti mata uang kripto. 

“Selama perang antara Rusia dan Ukraina masih berlangsung kemungkinan kripto akan terus turun karena kinerja stablecoin Terra USD juga terus memburuk. Selain itu, pasar kripto juga menunjukkan arah bubble karena memang overvalue. Koreksi terhadap harga akan terjadi cepat atau lambat,” kata Hendra dikutip dari Antara, Sabtu (14/5).

Meski begitu, Hendra menilai gelembung harga kripto belum akan pecah. Sebab jika melihat tren kenaikan dan penurunan harga kripto selama ini, penurunan tajam kerap diikutip dengan kenaikan tinggi. "Tidak ada ukuran jelas untuk memprediksi nilai aktual aset tanpa fundamental adalah salah satu alasan kripto termasuk produk berisiko dan berbahaya untuk investasi,” ucapnya.

Sementara CEO Indodax, Oscar Darmawan, melihat penurunan harga kripto terjadi karena aksi jual yang terjadi lebih banyak daripada aksi beli oleh para investor. Fenomena ini membuat penawaran yang ada di pasar lebih banyak daripada permintaannya.

Aksi jual ini, menurutnya, terjadi akibat sentimen negatif yang terjadi belakangan ini karena kebijakan kenaikan suku bunga The Fed.

"Kebijakan ini bertujuan untuk meredam inflasi di Amerika yang sedang melonjak. Oleh karena itu, tidak heran jika para 'whales' memilih untuk menjual aset kripto-nya dan keluar terlebih dahulu,” jelas Oscar dalam keterangan resmi, Jumat (13/5).

Whales merupakan sebutan untuk investor besar pada pasar kripto, sehingga memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan harga aset kripto.

Melihat pasar kripto yang sedang menurun cukup signifikan, Oscar menilai bahwa investor cenderung menunggu sehingga membuat pergerakan dari pasar kripto cenderung bergerak lambat untuk bullish kembali.

Halaman:
Reporter: Aryo Widhy Wicaksono