Perusahaan asal Korea Selatan, Samsung Electronics memperkirakan laba kuartal III meningkat 58% secara tahunan. Analis menilai, peningkatan ini salah satunya ditopang oleh sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Huawei .
Samsung memprediksi, laba operasional mencapai 12,3 triliun won atau sekitar US$ 10,6 miliar (Rp 155,9 triliun) pada kuartal III. Angkanya lebih tinggi ketimbang proyeksi perusahaan keuangan Refinitiv SmartEstimate, 10,5 triliun won.
Direktur Pelaksana Bernstein Mark Newman menilai, laba Samsung meningkat karena penjualan ponsel pintarnya melonjak. Selain itu, pendapatan dari memori cip (chipset) lebih tinggi dari proyeksi.
“Kami berkesempatan untuk berbicara dengan perusahaan secara singkat, dan sepertinya unit smartphone sangat, sangat kuat di kuartal III," kata Mark dikutip dari CNBC Internasional, kemarin (8/10). Ia mencatat, penjualan Samsung Galaxy Note 20 dan ponsel lipat berjalan baik.
Berdasarkan data Counterpoint, Samsung kembali menempati urutan pertama dalam hal pengiriman ponsel per Agustus. Posisi ini sempat direbut Huawei pada kuartal II, sebagaimana Databoks berikut:
Selain itu, penjualan produk elektronik kategori peralatan rumah tangga diprediksi meningkat, terutama dari platform e-commerce.
Sedangkan pendapatan dari memori cip tertekan harga yang menurun akibat kelebihan pasokan. Perusahaan riset terkait semikonduktor, TrendForce melaporkan harga jual rata-rata cip turun sekitar 10% setiap kuartal. Tren pelemahan ini diprediksi terjadi hingga akhir tahun.
Meski begitu, Newman menilai bisnis cip Samsung diuntungkan dari sanksi AS terhadap Huawei. Raksasa teknologi asal Tiongkok ini menghentikan memproduksi cip andalannya, Kirin sejak bulan lalu karena kebijakan Presiden AS Donald Trump.
Pada Mei lalu, Departemen Perdagangan AS mengeluarkan perintah yang mewajibkan pemasok perangkat lunak dan peralatan manufaktur untuk tidak berbisnis dengan Huawei. Hal ini semakin menekan bisnis perusahaan.
Pesaing Samsung lainnya, yakni Intel juga menunda peluncuran cip terbaru. “Itulah mengapa kinerjanya lebih baik dibandingkan dengan penyedia memori lainnya,” kata Newman.
Selain itu, bisnis peralatan jaringan internet generasi kelima atau 5G Samsung mulai menanjak. Perusahaan mendapatkan proyek US$ 6,64 miliar atau sekitar Rp 839 miliar dari operator seluler asal AS, Verizon pada awal bulan lalu.
Samsung akan memasok peralatan jaringan akses radio (RAN) 5G ke Verizon hingga 2025. Perusahaan juga memenangkan kesepakatan dengan korporasi telekomunikasi AS lainnya seperti Sprint, AT&T dan US Cellular, KDDI Corporation dari Jepang, Telus dan Videotron di Kanada, serta Spark di Selandia Baru.
Padahal, pangsa pasar Samsung telah lama tertinggal dari para pesaingnya. “Kemenangan Samsung baru-baru ini dengan Verizon bisa menjadi pengubah permainan,” kata pakar 5G di perusahaan riset Dell'Oro Group Stefan Pongratz dikutip dari Financial Times, Selasa lalu (6/10).
Berdasarkan data Dell’Oro, Huawei memimpin industri peralatan telekomunikasi dengan 31% pangsa pasar sepanjang semester I. Disusul oleh Nokia dan Ericsson masing-masing 14%. Kemudian ZTE 11% dan Cisco 6%.
Samsung hanya memiliki 3% pasar, tetapi porsinya meningkat dua kali lipat sejak akhir 2018. Selain itu, pasar perusahaan terkait instruktur seluler 5G-nya di kisaran 10-15%.
Perusahaan berbasis di Seoul, Korea Selatan itu mendapatkan ‘kue’ dari pasar yang dilepas Huawei karena sanksi AS. Beberapa negara, terutama di Eropa, memutuskan untuk tidak memakai jasa jaringan Huawei karena alasan keamanan.