Trik Ponsel Tiongkok Kuasai Pasar RI Lewat Harga hingga E-Commerce

Katadata
Ilustrasi. Permintaan ponsel Tiongkok di Indonesia tetap tinggi selama pandemi.
Penulis: Desy Setyowati
10/11/2020, 18.50 WIB

Ponsel buatan Tiongkok seperti VIVOOPPOXiaomi, dan Realme menguasai pasar Indonesia. Sejumlah analis menilai gawai Negeri Panda diminati karena harganya yang kompetitif dan gencar menjual melalui e-commerce.

Setidaknya ada tiga riset yang menyebutkan bahwa ponsel Tiongkok menguasai pasar Indonesia, yaitu Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII), Counterpoint Technology Market Research, dan Katadata Insight Center (KIC). Survei APJII menunjukkan, 52% pengguna internet memakai ponsel buatan Negeri Panda per kuartal II.

Rinciannya, 21,1% memakai OPPO, 18,6% Xiaomi, 10,4% Vivo, dan 1,9% Realme.  Meski begitu, Samsung tetap menjadi merek yang paling banyak digunakan di Tanah Air yakni 35,2%.

Hampir 90% responden hanya memiliki satu ponsel. “Ini karena sebagian besar handphone bisa untuk dua kartu atau simcard,” kata Sekretaris Jenderal APJII Henri Kasyfi saat konferensi pers virtual, Senin (9/11) kemarin.

Sedangkan jumlah pengguna ponsel pintar (smartphone) di Nusantara diprediksi 70,1% dari total populasi, sebagaimana Databoks berikut:

Hasil riset tersebut berdasarkan survei melalui kuesioner dan wawancara terhadap 7.000 sampel, dengan tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 1,27%. Riset dilakukan pada 2-25 Juni 2020.

Riset Counterpoint Technology Market Research juga mencatat empat produsen ponsel Tiongkok tersebut menguasai 73,3% pasar di Indonesia selama kuartal II. VIVO memimpin dengan 21,2% pengiriman ponsel atau naik dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya 7,8%.

“Katalis utama kesuksesan VIVO yakni strategi penetapan harga yang agresif dan permintaan yang besar dari segmen kelas menengah bawah dan tier 2,” demikian dikutip dari laporan resmi Counterpoint, September lalu (5/9).

Model ponsel seperti Y12, Y91C, dan Y50 merupakan kontributor teratas bagi pangsa pasar VIVO. “VIVO kuat di segmen offline,” demikian dikutip.

Posisi kedua ditempati oleh OPPO dengan pangsa pasar 20,6%, juga meningkat dibandingkan kuartal II 2019 sebesar 17,5%. “OPPO tidak jauh di belakang VIVO, karena merangsang pasar dengan smartphone seri A,” demikian dikutip.

Pada kuartal III tahun lalu, OPPO masih memimpin pasar di Tanah Air. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Sedangkan Xiaomi menempati peringkat keempat, karena pangsa pasarnya turun dari 21,9% menjadi 17,9% pada kuartal II 2020.

Lalu pangsa pasar Realme naik dari 7,6% menjadi 13,6% pada kuartal II 2020. Produsen yang berbasis di Shenzhen, Tiongkok itu pun menempati peringkat kelima di Tanah Air.

Adapun ponsel asal Korea Selatan, Samsung, berada pada urutan ketiga. Pangsa pasarnya turun dari 27% menjadi 19,6%.

Riset KIC juga menunjukkan 75,4% dari 6.697 responden memilih gadget buatan luar negeri ketimbang lokal. Dari jumlah tersebut, 36,1% di antaranya menyukai produk Tiongkok, 24,3% Korea Selatan, dan 20% Jepang.

“Alasan memilih produk Tiongkok yakni dari sisi layanan purna jual, mudah dicari di pasar, harga, dan inovasi produk,” demikian dikutip dari laporan KIC. Survei  ini dilakukan selama 13-17 Oktober, dengan responden berusia 17 hingga 65 tahun.

Research Associate Counterpoint Tanvi Sharma mengatakan bahwa produksi ponsel lokal di Indonesia kecil, sehingga banyak merek ponsel asing masuk. “Ini bicara mengenai isu rantai pasokan (supplychain),” kata dia dalam wawancara melalui podcast dikutip dari situs resmi Counterpoint, Oktober lalu (16/10).

Selama pandemi corona, ia juga mencatat pengiriman ponsel Tiongkok ke Indonesia tetap tinggi. Selain itu, para produsen menawarkan gawai dengan harga menengah ke bawah.

Associate Director Counterpoint Technology Market Research Tarun Pathak mencatat bahwa penjualan ponsel buatan Negeri Tirai Bambu meningkat saat pagebluk virus corona seiring berkembangnya pemasaran online. Xiaomi misalnya, penjualan melalui platform online mencapai 40%.

Sedangkan penjualan ponsel Realme melalui layanan digital 33%. “Industri e-commerce  tumbuh signifikan dalam tiga bulan ini karena Covid-19,” kata Pathak. Selain itu, ada beragam diskon dan penawaran yang menarik minat konsumen untuk berbelanja, termasuk membeli ponsel.

Meski begitu, Antara melaporkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa produksi ponsel nasional dalam lima tahun terakhir naik. Secara rinci yakni 105 ribu unit pada 2013; 5,7 juta di 2014; 37 juta 2015; 68 juta 2016; 60,5 juta 2017; dan, 74 juta 2018.

Sedangkan impor ponsel terus menurun dari 62 juta pada 2013 menjadi 60 juta setahun kemudian. Lalu, turun lagi menjadi 37 juta, 18,5 juta, 11,4 juta, dan 7,72 juta unit berturut-turut selama 2015 hinga 2018.

Impor ponsel turun setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengubah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang ketentuan impor telepon seluler, komputer, dan tablet pada 2013, 2014, dan 2016.

Pada perubahan pertama, entitas yang bisa mengimpor ponsel hanya prinsipal pemegang merek dan pabrik. Selain itu, produsen yang gawainya masuk Indonesia wajib mendirikan industri gadget di dalam negeri.

Perubahan kedua yakni memuat ketentuan pabedan untuk produksi ponsel di kawasan perdagangan bebas di suatu wilayah. Modifikasi terakhir berfokus pada pembedaan gawai impor dengan 3G dan 4G LTE. Selain itu, mengatur International Mobile Equipment Identity (IMEI).

Selain itu, Kemenperin menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 65 Tahun 2016 tentang etentuan dan tata cara penghitungan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) produk ponsel, komputer genggam, dan tablet.

Sistem bobot komponen lokal terbagi menjadi tiga jenis, yaitu aspek manufaktur 70%, pengembangan 20%, dan aplikasi 10%. Khusus manufaktur, ada tiga pembobotan, yakni material, tenaga kerja, dan mesin produksi.

Katadata.co.id pun meminta tanggapan Kepala Subdirektorat Industri Peralatan Informasi dan Komunikasi, Perkantoran, dan Elektronika Profesional Kemenperin Najamudin terkait tingginya peminat ponsel Tiongkok, meskipun ada sejumlah aturan untuk mendorong produk lokal. Namun, ia belum mau berkomentar.

Namun, Analis Riset Counterpoint Parv Sharma mengatakan bahwa salah satu produsen ponsel Tiongkok, Xiaomi gencar mendirikan toko resmi di Nusantara. “Indonesia merupakan salah satu pasar utama yang berkontribusi atas pertumbuhan Xiaomi secara global,” kata dia dikutip dari Gizmochina, akhir tahun lalu (18/11/2019).

Begitu juga dengan Realme yang menggencarkan penjualan di Indonesia melalui platform online. Selain itu, “harga dan fitur produk yang kompetitif menjadi alasan utama kesuksesannya,” kata Sharma.

Selama pandemi Covid-19, permintaan ponsel Negeri Tembok Besar di Indonesia pun tetap tinggi. Pengiriman ponsel Realme misalnya, mencapai lebih dari 50 juta secara global pada kuartal III 2020.

Realme pun menjadi tiga merek teratas di pasar utama India, Indonesia, Bangladesh, dan Filipina. “Dengan menghadirkan produk terjangkau tetapi premium, serta menawarkan layanan lewat e-commerce dan purna jual yang lancar di berbagai negara, Realme muncul sebagai merek paling tangguh selama dan setelah krisis pandemi,” kata Analis Riset Counterpoint Abhilash Kumar dikutip dari situs resminya, akhir Oktober lalu (30/10).

Peneliti ponsel dari Gatorade Lucky Sebastian mengatakan, produsen Tiongkok berfokus menyediakan ponsel mid dan budget untuk kelas menengah ke bawah. “Harganya dibanding spesifikasi juga sangat kompetitif,” kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (10/11).

Selain itu, mereka mendorong penjualan melalui e-commerce dengan sejumlah penawaran seperti flash sale. Kemudian, membuka banyak gerai di daerah. “Di pasar Indonesia masih membutuhkan gabungan penjualan online dan tradisional,” ujar dia.

Sebelumnya, ia menyampaikan bahwa VIVO, OPPO, dan Realme yang masuk dalam BBK Electronics Corporation juga gencar menggaet selebritas muda. “Acara peluncuran yang disiarkan melalui banyak saluran televisi, membuat merek OPPO dan VIVO mudah dikenal dan dipercaya,” kata dia kepada Katadata.co.id, September lalu (7/9).

Sedangkan Analis Canalys Matthew Xie menyampaikan, vendor berinvestasi besar-besaran di Asia Tenggara karena populasinya besar, serta ada pengembangan infrastruktur online dan logistik. “Ini untuk mengamankan sumber daya bisnis dan kesadaran konsumen,” kata dia dalam pernyataan resminya, Agustus tahun lalu (15/8/2019).