Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bakal membokir platform atau aplikasi yang menjalankan bisnis tetapi tak mendaftarkan perusahaannya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan teknologi wajib mendaftarkan diri ke Kominfo sebelum Oktober 2020.
Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, selama ini belum ada kejelasan mengenai pendaftaran perusahaan digital dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia. Padahal, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan tersebut meraup untung dari bisnis di Indonesia.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) mengatur status perusahaan-perusahaan digital tersebut. Salah satunya, dengan menerapkan kewajiban untuk mendaftarkan diri.
"Pemberlakuan (kebijakan) ini memiliki batas adaptasi (oleh perusahaan) selama 1 tahun. Hal ini mulai berlaku berdasarkan PP 71 yang baru diundangkan pada 10 Oktober 2019 lalu," ujar Semuel dalam acara diskusi Kompas 100: CEO Forum 2019 di Jakarta, Selasa (5/11).
(Baca: Pemerintah Wajibkan Friendster hingga Path Musnahkan Data Pengguna)
Ia menjelaskan, perusahaan digital yang mendaftarkan diri wajib mencantumkan informasi seputar nama perusahaan, alamat, layanan bisnis, hingga model bisnis perusahaan. Hal ini, menurutnya, penting diketahui oleh pemerintah untuk mendapatkan informasi terkait data-data apa saja yang akan dikumpulkan perusahaan-perusahaan itu di Indonesia.
Sejauh ini, menurut dia, belum ada perusahaan digital berskala global yang mendaftarkan perusahaannya akibat belum adanya kewajiban. Facebook dan Whatsapp yang sudah menjalankan bisnisnya di Indonesia selama bertahun-tahun, menurut dia, bahkan belum terdaftar resmi di Tanah Air.
Ia pun menilai waktu satu tahun yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan digital tersebut sangat cukup. Jika tak juga mendaftar, pihaknya siap memblokir platform atau aplikasi yang dijalankan perusahaan-perusahaan tersebut. "Bahkan, jika mereka sembunyi-sembunyi alias (beroperasi secara) ilegal, mereka tidak akan bisa (diakses)," jelas dia.
Samuel pun memastikan proses pendaftaran tersebut mudah karena melalui sistem online. Menurut dia, perusahaan hanya tinggal mendaftar sesuai alur dan aturan yang diminta serta membayar sejumlah uang yang diminta sesuai ketentuan.
(Baca: BCA Target Pengguna Alipay & WeChat Pay Bisa Transaksi di RI Awal 2020)
Adapun dalam kesempatan yang sama, Semuel juga menjelaskan soal WhatsApp Pay. Platform pembayaran milik WhatsApp ini, menurutnya, harus mendaftarkan perusahaan ke regulator keuangan yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas sistem pembayaran dan otoritas jasa keuangan terlebih dahulu sebelum mendaftarkan diri ke Kominfo.
Ia mengatakan, WhatsApp Pay harus menyelesaikan persyaratan yang diminta oleh kedua instansi keuangan tersebut sebelum menjalankan bisnis di Indonesia. "Jika tidak (menyelesaikan), perusahaan tidak bisa beroperasi di sini," ujarnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia telah menetapkan beberapa syarat bagi WhatsApp apabila ingin meluncurkan platfrom pembayaran di Indonesia. Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta menjelaskan, syarat pertama adalah perusahaan pengembang platform media sosial itu harus berbadan hukum Indonesia.
“Mereka harus mengajukan izin sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP),” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (21/8).
(Baca: Pesaing WhatsApp, Telegram Kembangkan Mata Uang Digital dan Blockchain)
Kedua, perusahaan asing yang ingin menjadi PJSP di Indonesia juga harus tunduk terhadap ketentuan Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP). Regulasi ini mencakup perizinan, kewajiban, laporan, peralihan izin, pengawas, larangan hingga sanksi.
Ketiga, jika ingin menyediakan layanan pembayaran lintas negara (crossborder payment) menggunakan kode QR (QR Code), WhatsApp harus bekerja sama dengan Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 4 alias bank kakap dengan modal inti di atas Rp 30 triliun. Biasanya, fasilitas seperti ini untuk keperluan wisatawan mancanegara.
“Penerbit instrumen (pembayaran) apapun yang menggunakan teknologi kode QR, layanannya bisa digunakan oleh pemegang instrumen di Indonesia, maka yang bersangkutan harus bekerja sama dengan bank BUKU 4. Dengan syarat-syarat legalitas, kompetensi, kinerja, keamanan, dan keandalan, serta hukum," katanya.
Keempat, syarat tersebut harus dipenuhi dengan menyampaikan dokumen perizinan atau rekomendasi dari otoritas sistem pembayaran setempat. Jika hal-hal ini dapat dipatuhi oleh WhatsApp, perusahaan itu bisa menyediakan layanan keuangan di Tanah Air.
Sebelumnya, Riset Google dan Temasek menunjukkan Indonesia menjadi kontributor terbesar bagi ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara pada 2019 hingga 2025. Nilai ekonomi digital Indonesia 2019 diprediksi mencapai US$ 40 miliar dan akan tumbuh lebih dari tiga kali lipat menjadi US$ 133 miliar pada 2025 seperti tergambar dalam databooks di bawah ini.