Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA)membantah industri e-commerce sebagai penyebab banjirnya barang impor di Indonesia. Ketua idEA Ignatius Untung mengklaim, nilai impor e-commerce masih kecil.
Selain itu, impor barang yang dilakukan oleh retail online atau melalui e-commerce juga tidak berbeda dengan ritel offline. Seperti pengiriman barang secara 'gelondongan' yang nantinya akan dijual secara retail.
Sedangkan untuk impor barang per paket yang penjualnya berasal dari luar negeri juga jumlahnya masih kecil hanya 0,42%. "Jadi ini isu yang diangkat terus tiba-tiba menjadi isu nasional. Menariknya kalau dari data yang kami punya, impor yang per paket itu masih di bawah 0,5%,"ujar Ignatius saat ditemui di Jakarta, Kamis (15/8).
Biarpun idEA memprediksi pertumbuhan barang impor per paket akan bertumbuh pesat hingga capai 300%. Namun, ia tidak yakin pertumbuhan impor barang impor yang dijual melalu e-commerce akan mendominasi karena minimnya platform e-commerce dalam negeri yang menyediakan fasilitas penjual luar negeri.
(Baca: Setelah Data, Revolusi Ketiga Saat Ini Adalah Digital Payment)
"Saat ini baru tiga platform, yakni Lazada, JD.ID, dan Shopee. Ada beberapa lagi tetapi mereka bukan pemain besar dan jumlahnya tidak banyak. Jadi, seharusnya pertumbuhan ini tidak akan semakin besar," ujarnya.
Ignatius pun mempertanyakan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menyebut 90% barang yang beredar di e-commerce adalah produk impor. "Saya pun sebenarnya tidak tahu awal data itu datang dari mana. Bahkan, definisi impornya sendiri masih rancu," ujarnya.
Ia mencontohkan, ponsel yang berasal dari luar negeri belum jelas masuk sebagai barang impor atau bukan. Jika ponsel termasuk barang impor, maka memungkinkan jumlah barang impor cukup besar karena ritel offline juga mengimpor ponsel. "Kalau memang itu dimasukkan sebagai barang impor, bukan cuma e-commerce berarti isunya, tapi offline pun, pasti angkanya besar juga,"ujarnya.
Sebelumnya, asosiasi sempat mendiskusikan soal banjir barang impor e-commerce ini bersama Dirjen Bea Cukai dan asosiasi pengusaha maupun ritel offline. "Kesepakatannya, ternyata memang tidak ada angka yang bisa digunakan bahwa jumlah ini sangat besar. Angkanya simpang siur, sedangkan angka yang kami punya semuanya masih keci," ujarnya.
Ignatius melanjutkan, kesepakatan dari pertemuan tersebut adalah melengkapi lagi data impor dan menyamakan persepsi tentang definisi impor terlebih dahulu. Menurutnya, angka impor seharusnya bisa lebih detail memasukkan jenis barang dan sektornya. "Jadi kami masih konsolidasi supaya menyamakan data dan memastikan bahwa kami on the same page," ujarnya.
(Baca: Pembeli E-Commerce Naik 4 Kali Lipat pada 9.9 Super Shopping Day)