Besarnya populasi yang belum terakses perbankan di Indonesia seolah menjadi kue yang diincar banyak perusahaan financial technology (fintech). Mereka berlomba merilis layanan uang elektronik berupa dompet digital (e-wallet) ataupun kartu yang memungkinkan masyarakat bertransaksi secara nontunai.
Yang terbaru adalah DANA, platform pembayaran elektronik hasil joint venture PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek) dan Ant Financial (Alipay). DANA mengusung sistem yang terintegrasi dengan aplikasi lain atau open platform.
Ide ini muncul, lantaran masyarakat mengeluhkan banyaknya aplikasi yang harus diunduh ataupun kartu yang harus disimpan di dompet. “Kalau Anda mendaftar di DANA, segala bentuk pembayaran, semua akan tersimpan dan ter-carry over di semua aplikasi (yang menjadi mitra),” ujar CEO DANA Vincen Iswara saat konferensi pers di XXI Lounge Plaza Senayan, Jakarta, Rabu (21/3).
Ini memang membedakan DANA dengan fitur pembayaran online lain yang umumnya hanya dapat digunakan terbatas pada aplikasi milik masing-masing perusahaan. Misalnya, Go-Pay hanya bisa dipakai untuk memesan layanan Go-Jek. Begitu juga dengan GrabPay yang hanya dapat digunakan untuk membayar layanan Grab.
(Baca juga: Gandeng Doku, Danamon Luncurkan Dompet Digital D-Wallet)
Dengan skema open platform, pembayaran transportasi online bisa langsung dari DANA. “Namun saat ini kami baru bekerja sama dengan Uber,” kata Vincen.
Selain mengusung skema open platform, DANA juga ingin menyasar pelanggan unbanked ataupun offline. Oleh karena itu, DANA tengah mengajukan izin ke Bank Indonesia (BI) untuk menyediakan layanan kode respon cepat (Quick Response Code/QR Code) supaya bisa bermitra dengan warung konvensional menyediakan transaksi online.
Menurut CEO Provetic Iwan Setyawan, skema pembayaran seperti ini sangat diminati. Provetic melakukan survei terhadap 662 responden secara online selama 20-27 Februari 2018. Dari survei tersebut, 76% responden menginginkan layanan pembayaran non-tunai yang bisa digunakan di banyak tempat. Lalu 61% ingin tidak ada biaya administrasi dan 59% berharap sistem keamanannya lebih baik.
“Kalau ada satu alat pembayaran bisa digunakan di semua tempat dan transaksi, orang-orang akan suka sekali,” ujar Iwan.
Survei tersebut juga menunjukan, bahwa 90% responden (66% di antaranya millennials) mengaku sudah pernah melakukan transaksi non-tunai. Dari jumlah tersebut, mayoritas mau beralih seterusnya menggunakan layanan pembayaran non-tunai. Tentu, keinginan masyarakat beralih ke non-tunai menjadi peluang bisnis yang potensial.
Selama ini, QR Code menjadi strategi yang disukai oleh para penyedia e-money untuk menjembatani pelanggan offline bertransaksi secara online. PT Dompet Anak Bangsa atau Go-Pay menjadi salah satu perusahaan yang sudah mengujicobakan QR Code dalam program Go-Food Festival. Namun, layanan tersebut tidak dilanjutkan karena terganjal aturan di BI.
(Baca juga: Jumlah Investor Bitcoin Hampir Menyamai Bursa Efek Indonesia)
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Susiati Dewi mengatakan, instansinya masih menyempurnakan ketentuan terkait QR Code, khususnya standardisasi.
Adapun, sebelumnya QR Code diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. “Dengan standardisasi, BI mau menciptakan efisiensi,” ujar dia kepada Katadata beberapa waktu lalu.
Selain dengan QR Code, aplikasi mobile financial services Telkomsel yakni TCash sudah mencicipi pasar unbanked dengan mendistribusikan bantuan sosial (bansos) mengunakan teknologi Near Field Communication (NFC) di 2015. Pemeritah pun bisa langsung mengirimkan uang bansos ke penerima melalui rekening ponsel. Lalu penerima bisa mencairkannya di mitra Telkomsel. Lagi-lagi, layanan ini dihentikan karena terganjal aturan BI.
Menggaet pasar unbanked dengan layanan menarik juga disajikan oleh PT Sprint Asia Technology, yang merilis aplikasi 'Bayarind' untuk konsumen dan 'Pasarind' untuk penjual. Dengan dua aplikasi tersebut, transaksi di beberapa angkringan, warung pecel lele bahkan pasar tradisional bisa dilakukan secara non-tunai.
Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Financial Technology (Fintech) Indonesia Ajisatria Suleiman, melalui blognya, menyampaikan bahwa mindset penyedia uang elektronik yang hanya berbasis kartu tidak akan berkembang optimal. Sebab, akan terkendala pendistribusian kartu yang tak jauh beda dengan kartu kredit dan debit.