Dalam waktu singkat, perusahaan rintisan (startup) Kata.ai mampu mengembangkan chatbot atau layanan percakapan berbasis kecerdasan buatan dengan meraih kepercayaan berbagai perusahaan besar. Kata.ai yang berdiri dua tahun lalu telah memiliki 20 klien di antaranya Telkomsel, Unilever, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Alfamart.
Kata.ai memprogram chatbot Sabrina, asisten virtual BRI yang membantu konsumen mengakses informasi layanan perbankan sejak awal tahun 2018. Lewat percakapan berbahasa Indonesia dengan Sabrina di Telegram atau Facebook Messenger, konsumen dapat menanyakan berbagai hal seperti mencari lokasi BRI terdekat atau menyampaikan keluhan.
Sebelum Sabrina, Telkomsel terlebih dahulu bekerja sama dengan Kata.ai mengembangkan akun chatbot GraPari Virtual dengan nama Veronika pada Agustus 2017. Veronika diprogram untuk melayani pertanyaan dan keluhan para pelanggan Telkomsel lewat aplikasi pesan LINE, Telegram, dan Facebook Messenger.
Kata.ai juga berada di balik kesuksesan Jemma, chatbot consumer engagement virtual milik Unilever. Lewat chatbot yang tersedia di LINE, pengguna bisa menanyakan berbagai hal kepada Jemma, mulai dari fashion, hingga curahan hati hubungan dengan kekasih.
Jemma juga dapat memberikan informasi seperti ramalan bintang dan berbagai tips, setelah menanyakan data pribadi kepada pengguna LINE.
Sepanjang 2017, Veronika dan Jemma telah menghimpun lebih dari 26 Juta pengguna dan menangani perputaran lebih dari 200 juta pesan.
(Baca juga: BRI Luncurkan Layanan Chatbot Sabrina dengan Kecerdasan Buatan)
Co-Founder dan CEO Kata.ai, Irzan Raditya, 30, memulai bisnis startup dengan pertama kali meluncurkan aplikasi chatbot bernama YesBoss.
Sebelum memulai bisnisnya, Irzan yang mendapat gelar Bachelor of Science (B.Sc.) di bidang Computer Science dari Hochschule für Technik und Wirtschaft-Berlin, Jerman, sempat memiliki pengalaman bekerja selama dua tahun menjadi Head of Mobile Yourdelivery GmbH (Lieferando) dan Head of Mobile Product Takeaway.com.
Aplikasi chatbot Yessboss ini sempat mendapat sambutan hangat, namun ditutup pada 31 Oktober 2016. Irzan memutuskan meninggalkan model bisnis Yessboss yang berorientasi pada layanan perorangan. Dia menggantinya dengan Kata.ai, meski masih menggunakan perusahaan yang sama, PT Yesboss Group Indonesia.
Pergantian model bisnis dari business to customer (B to C) menjadi business to business (B to B), sebagai upaya meningkatkan performa perusahaan. "Sumber daya kami terbatas baik SDM, uang dan waktu, namun memiliki mindset (tumbuh) bisa 10 kali lipat," kata Irzan kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.
Dengan mengubah model menjadi B to B, Kata.ai menyasar kerja sama dengan berbagai perusahaan. Perubahan model bisnis ini mendapat respons positif dari para investor.
(Baca juga: Pelopor Aplikasi Chatting Yahoo Messenger Tutup Setelah 20 Tahun)
Pada Agustus 2017, Kata.ai mendapat pendanaan Seri A sebesar US$3,5 juta (sekitar Rp 46,6 miliar sesuai nilai kurs berlaku saat itu). Penyuntik dana dipimpin oleh Trans-Pacific Technology Fund (TPTF), sebuah lembaga investasi yang berasal dari Taiwan.
Pendanaan juga diikuti oleh VC milik Telkom Group MDI Ventures, Access Ventures, Convergence Ventures, VPG Asia, Red Sails Investment, serta angel investor (investor perorangan) Eddy Chan.
Dalam mengembangkan Kata.ai, Irzan didukung Jim Geovedi dalam memanfaatkan teknologi Natural Language Processing (NLP) untuk chatbot. Dengan teknologi NLP, percakapan chatbot berbahasa Indonesia menjadi lebih alamiah sesuai percakapan sehari-hari.
"Seperti Veronica, dia bisa kita tanya dengan kalimat eh cariin gue Grapari daerah Kuta dong. Dia memahami percakapan sehari-hari, baik singkatan mau pun bahasa slang," kata Irzan.
(Baca juga: Moselo, Pengembang Aplikasi Chat dan Marketplace bagi Jasa Kreatif)
Kata.ai memberikan pelayanan chatbot untuk berbagai aktivitas bisnis mulai dari pemasaran produk, transaksi jual beli hingga pengumpulan data perilaku konsumen melalui media sosial dan aplikasi pesan.
Menurut Irzan, chatbot tak kesulitan menjawab pertanyaan karena konsumen selalu memberikan pertanyaan yang repetitif.
Sebelum diaplikasikan, Kata.ai biasa terlebih dahulu mengumpulkan data berbagai pertanyaan repetitif yang masuk ke customer support perusahaan. Selain pertanyaan, Kata.ai merekam kebiasaan para konsumen.
Berbagai data tersebut kemudian dianalisis sehingga menghasilkan informasi mengenai kebiasaan konsumen. "Data tersebut kemudian dikembangkan untuk misalnya memberikan promo atau pesan yang lebih personal sesuai penggunanya," kata Irzan.
Irzan mengatakan layanan chatbot, tak hanya memberikan manfaat efisiensi namun juga memberikan peluang bagi perusahaan menciptakan bisnis baru. Irzan mengklaim aktivitas Kata.ai bukan sekedar bisnis tapi upaya memberdayakan masyarakat sehingga dapat melakukan pekerjaan yang lebih produktif.
"Pekerjaan yang repetitif dan membosankan bisa ditinggalkan. Sehingga waktu bisa kita gunakan untuk hal yang strategis dan kreatif," kata Irzan.
Orientasi Kata.ai tak akan berhenti pada layanan chatbot, tapi juga mengembangkan teknologi kecerdasan buatan lainnya. Irzan ingin membuktikan teknologi AI pun dapat berkembang di Indonesia, bukan hanya di negara-negara maju.
Saat ini Kata.ai memiliki jumlah karyawan 50 orang yang sebagian besar para ahli Informasi Teknologi dari universitas dalam negeri. "Banyak hidden talent lulusan terbaik dari universitas dalam negeri," kata Irzan.
Salah satu yang sedang dikembangkan Kata.ai adalah pelayanan percakapan lewat suara yang mengadopsi bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. "Bayangkan kita dapat mengobrol dengan mobil atau meja. Mungkin ke depannya tak perlu lagi membuat pesan dalam bentuk teks saat berkendaraan, atau bisa pesan makanan tanpa pelayan," kata Irzan.
Dia menyatakan selain untuk bisnis, perkembangan teknologi kecerdasan buatan dalam bentuk suara akan sangat membantu para tuna netra. "Jadi memberikan dampak sosial, kemudahan bagi para penyandang tunanetra," kata Irzan.
Bagi Irzan dalam mengembangkan startup yang terpenting adalah mengatasi persoalan konsumen, tak cukup hanya memberikan solusi lewat teknologi. "Bukan teknologi yang memaksakan konsumen tapi bagaimana menjemput bola dan memahami kebutuhan konsumen tanpa mengubah kebiasaannya," kata Irzan.