CEO SoftBank Masayoshi Son dikabarkan semakin mendorong Grab untuk menyelesaikan kesepakatan merger dengan Gojek. Kedua decacorn ini juga disebut-sebut aktif berdiskusi secara online selama pandemi corona.
Kabar merger Gojek dan Grab sebenarnya sudah berhembus sejak Februari lalu. Diskusi di antara keduanya dikabarkan terus berlanjut, karena pesaingnya merugi akibat pembatasan aktivitas di luar rumah imbas virus corona.
“Kedua perusahaan rintisan paling bernilai di Asia Tenggara itu secara aktif terlibat dalam panggilan Zoom setelah berbulan-bulan berdiskusi dan membuat kemajuan menuju kesepakatan,” demikian kata beberapa sumber Bloomberg, kemarin malam (15/10).
Poin penting yang masih menjadi pembahasan yakni apakah keduanya akan menggabungkan semua operasi atau Grab hanya mengakuisisi bisnis Gojek di Indonesia.
Sumber mengatakan, CEO Grab Anthony Tan memilih untuk mengakuisisi pasar yang lebih sempit. Dengan begitu, perusahaan memiliki kendali yang lebih besar. “Ini memungkinkannya menjalankan bisnis di Indonesia sebagai anak perusahaan Grab,” demikian kata sumber. Namun, ia tidak memerinci pasar yang dimaksud.
Sedangkan pemegang saham Gojek mendorong kombinasi di seluruh Asia Tenggara. “Ini karena mereka akan berakhir dengan lebih banyak bisnis yang digabungkan,” demikian kata sumber.
Kabarnya, Son sepakat dengan usulan para pemegang saham Gojek tersebut. “Pembicaraan itu lancar dan mungkin tidak menghasilkan transaksi,” kata beberapa sumber Bloomberg.
Akan tetapi, perwakilan Grab, Gojek, dan SoftBank menolak berkomentar.
Namun, sumber mengatakan bahwa SoftBank frustrasi dengan persaingan Gojek dan Grab. Kabarnya, Son mendesak keduanya bergabung sejak ia datang ke Indonesia pada pertengahan tahun lalu.
Padahal, sumber Financial Times sebelumnya menyatakan bahwa Son sempat menolak rencana penggabungan itu. Alasannya, industri berbagi tumpangan (ride hailing) akan tumbuh signifikan. Selain itu, perusahaan dengan uang tunai banyak dinilainbakal mendominasi.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain bertajuk e-Conomy SEA 2019, nilai ekonomi berbasis internet di Asia Tenggara diprediksi tumbuh dari US$ 100 miliar pada tahun lalu menjadi US$ 300 miliar pada 2025.
Untuk Indonesia, nilainya diramal naik dari US$ 40 miliar menjadi US$ 133 miliar pada 2025. Secara rinci, dapat dilihat pada Databoks berikut:
Namun sumber Financial Times mengatakan, Son menyadari bahwa Gojek merupakan lawan Grab yang tangguh. Kini, Son disebut-sebut mendukung pembicaraan tersebut.
Sumber Bloomberg menyampaikan, kedua belah pihak sedang bernegosiasi mengenai struktur dan penilaian, serta cara mengurangi kekhawatiran regulator terkait monopoli. Kesepakatan ini kemungkinan juga tergantung pada berapa lama pandemi berlangsung, yang akan berdampak pada arus kas perusahaan.
Bloomberg mencatat, Grab kehilangan lebih dari US$ 200 juta untuk pasar Singapura pada 2019.
Akan tetapi, Grab dikabarkan dalam pembicaraan dengan Alibaba Group Holding Ltd., untuk mengamankan investasi sekitar US$ 3 miliar. Sedangkan Gojek didukung oleh Tencent.
Tencent dan Alibaba bersaing di banyak sektor, termasuk keuangan melalui WeChat dan Alipay. Alibaba juga mendukung Lazada dan Tokopedia, sementara Tencent sempat menjadi investor induk Shopee, Sea Ltd.
Meski begitu, investor Grab dan Gojek terus mendesak merger karena khawatir dengan pertumbuhan Sea Ltd. Sejak mencatatkan saham perdana atau IPO pada 2017, nilai pasarnya sekitar US$ 82 miliar.
Induk Shopee itu mulai merambah layanan keuangan melalui ShopeePay, dan bahkan pesan-antar makanan di Vietnam.
Akan tetapi, analis bidang teknologi di Fitch Solutions, Kenny Liew melihat regulator tidak akan menyetujui kesepakatan merger dua raksasa startup tersebut. "Ini mengingat bahwa (jumlah) pekerjaan kemungkinan besar akan dipangkas,” kata dia.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sempat menyampaikan bahwa kemungkinan akan menolak rencana Gojek dan Grab merger. "Apabila dua pelaku usaha menguasai pangsa pasar yang dominan, tentunya berpotensi ditolak oleh KPPU," kata Komisioner KPPU Guntur Syahputra kepada Katadata.co.id, Maret lalu (11/3).
Pertimbangan itu mengacu pada pasal 28 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
KPPU akan menilai ukuran konsentrasi pasar dari kedua perusahaan yang berencana merger atau akuisisi. Penilaiannya berdasarkan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). "Tentunya akan dilihat nilai pasca-terjadi merger atau akuisisi," ujar Guntur.