Gojek Masuk ke Bank Jago, Era Baru Perkawinan SuperApp - Bank Digital

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi Gojek
Penulis: Desy Setyowati
19/12/2020, 06.00 WIB

Lalu, Gojek merambah bisnis fintech lending dengan menggandeng tiga mitra yakni Findaya, Dana Cita dan Aktivaku pada 2018. Dengan Findaya, Gojek menyediakan layanan ‘beli sekarang bayar kemudian’ atau paylater.

Di bidang investasi, perusahaan penyedia layanan on-demand itu menggadeng startup investasi reksa dana berbasis teknologi atau robo advisor, Bibit pada 2019. Kemudian, menggaet fintech, Pluang untuk menawarkan investasi emas pada Juni lalu.

Untuk bisnis asuransi, startup jumbo itu menggandeng PasarPolis menyediakan layanan GoSure pada akhir tahun lalu. Di platform Gojek, fintech asuransi (insurance) ini menyediakan perlindungan layar ponsel, perjalanan, dan kendaraan bermotor.

Yang terbaru, Gojek juga menggandeng Bank Central Asia (BCA) membuat perangkat untuk transaksi bernama GoBiz Plus. Mesin ini mirip electronic data capture atau EDC, namun dapat menerima pembayaran berbasis kode Quick Response atau QR Code maupun kartu.

Pada Juni lalu, bisnis pembayaran dan keuangan Gojek pun disokong oleh Facebook dan PayPal. Keduanya masuk dalam putaran pendanaan seri F lanjutan Gojek, bersama dengan Google dan Tencent.

Beberapa ahli keuangan menilai, perusahaan teknologi global butuh pemahaman lokal yang mendalam terkait pasar, jika ingin berhasil di Asia Tenggara. Gojek dinilai menjadi jalan bagi Facebook dan PayPal untuk merambah pasar Indonesia.

“Pasar kami secara fundamental terdiri dari UKM,” kata Aldi saat wawancara dengan jurnalis CNBC Internasional Saheli Roy Choudhury, dikutip Juni lalu (11/6). “Kami menjembatani pedagang kecil di jalan dengan beberapa perusahaan teknologi global.”

Kini, transaksi GoPay terus meningkat. Per Oktober, peningkatannya hingga 2,7 kali secara tahunan (year on year/yoy).

Sedangkan secara keseluruhan, layanan inti sudah mencetak margin kontribusi positif pada 2020. Transaksi brutonya atau gross transaction value (GTV) tumbuh 10 % menjadi US$ 12 miliar atau Rp 170 triliun sejak awal tahun.

Bisnis keuangan di Indonesia memang menggiurkan. Pertama, banyaknya jumlah penduduk unbanked di Indonesia. Kedua, pengguna ponsel pintar (smartphone) diprediksi mencapai 70,1% dari total penduduk pada tahun ini. Angkanya tertera pada Databoks berikut:

Selain itu, banyaknya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang belum tersentuh layanan keuangan. Peluang di Indonesia bahkan sangat besar, dengan 64 juta lebih UMKM.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2019’,  nilai dari layanan keuangan digital di Asia Tenggara diproyeksi US$ 38 miliar sampai US$ 60 miliar (Rp 554,2 triliun-Rp 875 triliun) per tahun pada 2025. Porsi per negara sebagai berikut:

Namun, dalam studi terbaru Google, Temasek, dan Bain and Company, nilainya bisa lebih besar pada tahun ini karena ada pandemi corona. Nilai transaksi (gross transaction value/GTV) pembayaran di regional diproyeksikan US$ 620 miliar pada tahun ini dan US$ 1,2 triliun di 2025.

Lalu, transaksi remitansi secara online diprediksi US$ 35 miliar pada 2025. Penyaluran pembiayaan melalui fintech lending diramal US$ 92 miliar. Kemudian, dana kelolaan investasi diproyeksi mencapai US$ 84 miliar.

Halaman: