Mengapa Traveloka dan Grab Tunda IPO lewat Perusahaan SPAC?

Pixabay/Sergei Tokmakov Terms.Law
Ilustrasi bursa saham Amerika Serikat (AS)
Penulis: Desy Setyowati
18/10/2021, 14.32 WIB

Traveloka menghentikan pembicaraan terkait pencatatan saham perdana alias IPO lewat perusahaan ‘cek kosong’ alias SPAC Bridgetown Holdings Ltd. Sedangkan Grab menunda merger dengan SPAC Altimeter Growth.

Sumber Bloomberg melaporkan, direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan IPO melalui SPAC. Alasannya, karena antusiasme di pasar SPAC berkurang.

Namun sumber lainnya mengatakan, Traveloka dapat meninjau kembali pembicaraan dengan Bridgetown maupun perusahaan ‘cek kosong’ lain jika pasar pulih. Sedangkan unicorn Indonesia sudah melakukan pembicaraan dengan Bridgetown sejak sekitar April.

Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menilai, keputusan yang dibuat oleh Traveloka merupakan yang paling tepat saat ini. “Tren SPAC di Amerika Serikat (AS) agak menurun,” kata dia saat wawancara dengan beberapa media, akhir pekan lalu (14/10).

Oleh karena itu, Traveloka dan East Ventures mengkaji situasi pasar terlebih dulu. “Kami mengambil keputusan berdasarkan konteks. Ke depan, kami tidak tahu akan bagaimana?” ujar dia.

Sedangkan Grab menunda merger dengan perusahaan akuisisi bertujuan khusus alias SPAC Altimeter Growth hingga akhir tahun. Padahal, kesepakatan ini untuk IPO di bursa saham AS.

Itu karena Grab mesti melakukan audit keuangan sesuai permintaan otoritas bursa di AS.

Grup MNC yang dikendalikan pengusaha nasional, Hary Tanoesoedibjo (Hary Tanoe) yakni PT

MNC Vision Networks (IPTV) milik Hary Tanoesoedibjo juga membuka opsi untuk membubarkan MNC Entertainment Limited. Perusahaan ini awalnya bertujuan membantu proses merger Asia Vision Network (AVN) dengan SPAC Malacca Straits Acquisition Company Limited (MLAC) di AS.

Merger AVN dan MLAC pun dibatalkan.

Reuters melaporkan, lebih dari 100 SPAC mengumumkan merger tahun ini. Namun rata-rata hanya membukukan apresiasi kurang dari 2% dari harga perdagangan saat pertama kali IPO di bursa.

Padahal, rerata pertumbuhan harga saham konstituen S&P 500 tercatat 15% hingga Mei tahun ini. Itu artinya, saham-saham yang melantai lewat SPAC kalah untung dengan yang tercatat dengan skenario biasa.

Di AS, Senator Elizabeth Warren dan tiga anggota parlemen Demokrat lainnya khawatir dengan SPAC. “Kami prihatin dengan insentif yang tidak selaras antara pendiri SPAC dan investor awal, dengan investor ritel,” kata mereka dalam surat terbuka yang ditujukan kepada perusahaan ‘cek kosong’.

Surat itu menyebutkan, rata-rata sponsor SPAC meraih pengembalian 958% pada 19 Januari 2019 hingga 22 Januari, berdasarkan laporan JP Morgan. Sebagai perbandingan, "rata-rata investor yang menjual saham dan waran tepat sebelum merger rata-rata mendapatkan pengembalian 40%," demikian isi surat itu.

Per awal September (6/9), ada 125 merger perusahaan ‘cek kosong’. Namun 58% di antaranya diperdagangkan di bawah US$ 10.

Selain itu, lebih dari sepertiga transaksi SPAC mencatatkan 50% saham publik ditebus. Ini menunjukkan bahwa investor kecewa dengan hype perusahaan ‘cek kosong’.

CEO Social Capital Chamath Palihapitiya menilai, hal itu terjadi karena ada perbedaan kualitas sponsor SPAC. "sponsor berkualitas yang menjamin kesepakatan yang baik,” kata dia dikutip dari CNBC Internasional, akhir pekan lalu (15/10). “Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah memaksa orang-orang yang menjadi sponsor untuk memiliki lebih banyak modal berisiko.”

Palihapitiya pun menanggapi pertanyaan pembawa acara “Fast Money Halftime Report” CNBC Scott Wapner soal apakah Palihapitiya tidak setuju dengan karakterisasi bahwa investor menanggung risiko paling besar dengan SPAC.

“Anda memiliki kesempatan berbulan-bulan untuk mendukung orang-orang yang menurut Anda mungkin menemukan kesepakatan yang baik. Kemudian biasanya Anda memiliki waktu berbulan-bulan untuk sepenuhnya menanggung bisnis dan melihat bagaimana reaksi pasar lainnya. Kemudian bertahan atau mendapatkan semua keuntungan. Uangmu kembali,” katanya. “Bagi saya itu tampak seperti hal yang sangat ramah investor untuk dilakukan.”

Ia menilai, investor perlu meluangkan waktu untuk mengkaji perusahaan yang sahamnya akan dibeli. “Pastikan (mereka) melihat insentif dari orang-orang yang ingin Anda dukung,” ujarnya.