Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, Indonesia kekurangan 400 ribu – 500 ribu talenta digital per tahun. Untuk mengatasi hal ini, startup dan perusahaan Tanah Air menggencarkan pelatihan hingga merekrut pekerja ahli asing.
Berdasarkan riset McKinsey dan Bank Dunia, Indonesia membutuhkan sekitar sembilan juta talenta digital selama 2015 hingga 2030. Ini artinya, ada kebutuhan 600 ribu tenaga ahli di bidang siber per tahun.
Namun hanya 20% dari total 4.000 kampus di Indonesia yang memiliki program studi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). “Ada talent gap sekitar 400 ribu – 500 ribu setiap tahunnya,” kata Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong dalam webinar Selular Congress, Kamis (31/3).
Vice President HC Workforce Solution and Enabler Telkomsel Harris Wijaya pun menyampaikan, jumlah talenta digital di Indonesia hanya 0,2% dari total angkatan kerja pada 2019. Ini berdasarkan data LinkedIn.
Indonesia pun menempati urutan kesembilan dari total 11 negara yang disurvei. Rinciannya sebagai berikut:
“Lima tahun lalu mungkin kita belum berpikir mencari beberapa digital talent yang ada saat ini. Misalnya untuk big data specialist, fintech engineers, dan sejumlah pekerjaan lain. Namun saat ini, talenta digital itu dibutuhkan,” kata Harris.
Di satu sisi, perkembangan teknologi memengaruhi kebutuhan talenta digital. “Dulu hanya ada pesan singkat hingga telepon suara. Kini Telkomsel menjangkau kebutuhan pelanggan untuk menonton film, bermain game sampai bekerja. Nantinya kemungkinan berkembang lagi,” ujarnya.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu pun bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk mendapatkan talenta digital yang mumpuni. Salah satunya menggaet Telkom University.
Selain itu, menggencarkan pelatihan terkait teknologi. Telkomsel juga merekrut ahli di bidang teknologi secara permanen maupun sementara waktu.
Wakil Rektor Telkom University Rina Puji Astuti menambahkan, kampusnya menyiapkan sejumlah program studi untuk mendapatkan lulusan yang ahli di bidang digital. “Kurikulum sudah sesuai dengan kebutuhan talenta digital saat ini, mulai dari kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) hingga big data. Bahkan sudah berpijak kepada Undang-Undang (UU) online,” ujarnya.
Pada 2018, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menyurvei 500 startup di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, terkait talenta digital. Hasilnya, perusahaan mengeluarkan Rp 210 juta hingga Rp 1,1 miliar untuk head hunter atau jasa pencarian kandidat, khususnya di tataran pimpinan atau chief level.
Dana tersebut belum termasuk gaji dan fasilitas lain bagi pekerjanya sendiri.
Secara rinci, untuk mendapatkan talenta junior, startup biasanya membayar Rp 13,2 juta - Rp 29 juta kepada head hunter. Sedangkan untuk kualifikasi menengah biayanya Rp 25 juta - Rp 79 juta, dan senior Rp 66 juta - Rp 264 juta.
Itu terjadi karena perusahaan rintisan berebut untuk mendapatkan pekerja ahli. Ini tecermin pada rasio pegawai keluar masuk (turnover) sektor digital 19,22%, di atas rerata nasional 10%.
Berdasarkan riset Robert Walters Indonesia, startup pendidikan, kesehatan, dan teknologi finansial (fintech) pembayaran bahkan menawarkan gaji hingga mencapai Rp 1,7 miliar per tahun pada 2019. Rinciannya dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) pun mencatat, mayoritas anggota kesulitan mencari bakat bidang data dan analisis, pemrograman, dan manajemen risiko. Ini berdasarkan survei terhadap 154 anggota di masa pandemi corona.
Meski begitu, 67% responden tidak mempekerjakan pekerja asing. Untuk menjawab tantangan ini, sebagian besar melakukan in-house training dan merekrut sejumlah talenta dari lembaga keuangan.
Pada akhir 2020, Ketua Umum idEA Bima Laga menyampaikan bahwa ketersediaan talenta digital merupakan faktor pendukung utama bagi usaha rintisan di sektor ekonomi digital, termasuk e-commerce.
“Tentu perusahaan e-commerce Indonesia akan mengutamakan pekerja Indonesia,” ujar Bima kepada Katadata.co.id, pada akhir 2020 (15/10/2020).
Beberapa korporasi juga bekerja sama dengan sejumlah instansi, termasuk pemerintah untuk mengembangkan talenta digital Indonesia. Namun, talenta digital dari negara lain dinilai bisa menambah khazanah perkembangan ekonomi digital di Tanah Air.
“Namun dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan nasional,” kata Bima.
External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menyatakan, perusahaan selalu memberikan ruang bagi siapa pun yang ingin berkarya lewat teknologi. Bagi unicorn ini, sumber daya manusia (SDM) merupakan investasi terbesar.
“Kami percaya, talenta terbaik akan menciptakan produk terbaik,” kata Ekhel kepada Katadata.co.id, akhir 2020 (12/10/2022).
Sebagian besar dari karyawan Tokopedia, yang disebut nakama, merupakan warga Indonesia dari berbagai latar belakang.
Sedangkan mantan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, perusahaan selalu mengacu kepada peraturan pemerintah yang berlaku, termasuk dalam proses perekrutan karyawan.
“Fokus utama kami membantu dalam mengembangkan talenta anak bangsa. Sekitar 99% pegawai merupakan warga negara Indonesia,” ujar Rachmat kepada Katadata.co.id, pada akhir 2020.
Lalu Gojek memiliki pekerja yang tersebar di negara lain. Tim data science misalnya, berada di Singapura, Thailand, Vietnam, India, dan Indonesia.
Decacorn Tanah Air itu pun membangun pusat teknologi di Bangalore, India pada 2016. Di negara ini, Gojek merekrut engineer, pemrogram, dan peneliti data.
Bangalore memang disebut-sebut sebagai Silicon Valley Asia, karena mengekspor banyak pekerja dan produk teknologi. Sedangkan Silicon Valley merupakan julukan bagi San Francisco Bay Area di California, Amerika Serikat (AS). Daerah ini memiliki banyak perusahaan teknologi seperti Adobe System, Apple, eBay, Google, Intel hingga Yahoo.
VP of Data Science Gojek Syafri Bahar menyadari adanya selisih (gap) antara pasokan pekerja dengan kebutuhan startup. “Di Gojek kami melakukan grooming, karena talenta digital di bidang data sangat langka. Kami berusaha membuat sumber daya yang ada, termasuk yang basisnya di luar data, akhirnya menjadi data driven,” kata dia kepada Katadata.co.id, pada akhir 2020.
Ia mencontohkan, perusahaan memberikan para pekerja alat agar bisa mengakses insight tertentu. “Kemudian, karena ada talenta internasional, kami berusaha membuat suatu ekosistem. Semua harus saling diskusi sehingga ada transfer knowledge,” ujar dia.
Gojek setidaknya memiliki ratusan tim data. Startup jumbo ini memburu pekerja di Vietnam, Thailand, Singapura, dan India. “Ada juga yang bekerja secara remote di AS dan di Indonesia,” katanya.
Pada 2018, CEO Traveloka Ferry Unardi sempat menyampaikan bahwa isu minimnya talenta digital dapat diatasi melalui kemitraan dengan perguruan tinggi. “Banyak orang cerdas di Indonesia,” kata dia dalam acara 1st NextICorn International Summit, di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, pada 2018.
Namun, Traveloka juga membangun fasilitas riset, teknologi, dan pengembangan bernama Traveloka India Pvt. Ltd di Bangalore, India pada awal 2019. Pusat inovasi ini didukung tim ahli di India dan global.