Pengemudi ojol berencana berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Perhubungan alias Kemenhub. Ribuan driver ojek online sebelumnya berdemo di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker pada Selasa (10/10).
Namun Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia atau SPAI Lily Pujiati belum memerinci kapan para pengemudi ojek online atau ojol akan berdemo di depan Kantor Kemenhub.
Sementara tuntutan yang akan disampaikan dalam demo di Kemenhub yakni terkait aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive. “Soal pelanggaran aplikator dan sanksinya," kata Lily kepada Katadata.co.id, Selasa (10/10).
Tetapi Lily tidak memerinci pelanggaran aplikator ojek online atau ojol seperti apa yang dimaksud, maupun sanksinya.
Sekitar 1.500 pengemudi ojol disebut berunjuk rasa di Kantor Kemenaker pada Selasa (10/10). Aksi ini diikuti oleh berbagai organisasi ojek online di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek, di antaranya:
- SPAI
- Maluku Online Bersatu Nusantara
- Go Graber Indonesia
- Pejuang Aspal Nusantara
- Aliansi Ojol Indonesia
- Garis Keras Maxim Jabodetabek
Lily menyampaikan, Kemenaker berencana membuat aturan terkait kemitraan atau tenaga kerja luar hubungan kerja (TKLHK). Beberapa media melaporkan, setidaknya ada lima poin yang diatur dalam regulasi anyar tersebut, di antaranya:
- Ada persyaratan kerja, seperti minimal berusia 18 tahun dan memenuhi kualifikasi
- Imbal hasil mencakup komisi, insentif atau bonus yang harus disepakati oleh perusahaan dengan mitra pengemudi taksi dan ojek online alias ojol
- Jam kerja, tidak boleh lebih dari 12 jam per hari. Jika lebih, maka aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim, dan inDrive harus menonaktifkan aplikasi driver taksi maupun ojek online atau ojol.
- Jaminan sosial. Aplikator wajib mendaftarkan driver taksi maupun ojek online alias ojol dan kurir dalam program jaminan sosial sebagai peserta bukan penerima upah.
- Keselamatan dan kesehatan kerja. Ada syarat-syarat terkait keselamatan dan kesehatan kerja.
SPAI menolak rencana Kemenaker mengatur jam kerja pengemudi taksi dan ojek online alias ojol. “Sebab, tanpa adanya kepastian pendapatan,” kata Lily.
Setidaknya ada tiga tuntutan pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol terkait jam kerja, yakni:
- Tolak rencana Kemenaker yang akan membatasi jam narik ojol selama 12 jam
- Tolak rencana Kemenaker yang akan mematikan aplikasi ojol selama satu hari dalam seminggu
- Tolak rencana Kemenaker yang akan mematikan aplikasi ojol selama 30 menit setelah dua jam onbid
Terlebih lagi, jika regulasi tersebut masih menetapkan pengemudi taksi dan ojek online alias ojol sebagai mitra aplikator, bukan karyawan. Maka pengaturan jam kerja bisa berdampak terhadap pendapatan mereka.
Dalam demo tersebut, para pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol juga mengeluhkan perbedaan tarif layanan berbagi tumpangan atau ride hailing dengan pengantaran makanan maupun barang.
“Ini diperparah dengan aturan tarif Rp 5 ribu untuk pengantaran makanan,” ujar Lily. Menurutnya, kebijakan terkait tarif dan diskon pengiriman ini mengeksploitasi mitra driver taksi maupun ojek online alias ojol.
“Tarif dan diskon tersebut belum menghitung macet, penutupan jalan, banjir, bensin, serta waktu dan tenaga yang ditanggung oleh pengemudi,” Lily menambahkan.
Belum lagi, aplikator bisa memberikan sanksi berupa suspend atau pembekuan akun sementara, denda hingga pemutusan mitra. Skema ini dinilai merugikan pengemudi.
Oleh karena itu, ia mereka juga menuntut agar status pengemudi taksi maupun ojek online alias ojol diubah dari mitra menjadi karyawan.
“Dengan begitu, kami bisa mendapatkan kepastian pendapatan dengan adanya upah minimum, kondisi kerja yang layak delapan jam kerja, empat jam lembur dalam enam hari kerja, dan hak-hak sebagai pekerja sesuai UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.