Daya Beli Dinilai Turun, Transaksi Ojek Online Grab dan Gojek Ikut Anjlok?

ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di depan Stasiun Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Senin (5/9/2022).
Penulis: Desy Setyowati
19/8/2024, 13.59 WIB

Transaksi taksi dan ojek online alias ojol Grab dan Gojek naik sejak awal tahun, meski sejumlah ekonom menilai daya beli masyarakat Indonesia menurun. Grab dan Gojek tidak hanya menyediakan layanan di Tanah Air.

Grab tersedia di Singapura, Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Sementara itu, Gojek ada di Indonesia, Singapura, dan Vietnam.

Grab mencatatkan nilai transaksi bruto alias gross merchandise value (GMV) sesuai permintaan naik secara tahunan atau year on year (yoy) selama kuartal I dan II. Rinciannya sebagai berikut:

  • Kuartal I: naik 18% menjadi US$ 4,24 miliar, yang terdiri dari:
  1. Layanan pengiriman seperti GrabFood dan Grab Express naik 13% menjadi US$ 2,7 miliar
  2. Mobilitas seperti GrabBike dan GrabCar naik 27% menjadi US$ 1,5 miliar
  • Kuartal II: naik 13% menjadi US$ 4,434 miliar, yang terdiri dari:
  1. Layanan pengiriman naik 9% menjadi US$ 2,85 miliar
  2. Mobilitas naik 20% US$ 1,584 miliar

Kenaikan transaksi itu salah satunya didorong oleh kenaikan insentif berupa promosi bagi konsumen maupun bonus mitra pengemudi taksi dan ojek online Grab. Rinciannya sebagai berikut:

Kuartal I:

  • Insentif untuk mitra pengemudi taksi dan ojek online alias ojol naik 4% menjadi US$ 177 juta atau Rp 2,82 triliun
  • Insentif untuk konsumen naik 8% menjadi US$ 239 juta atau Rp 3,81 triliun

Kuartal II:

  • Insentif untuk mitra pengemudi taksi dan ojek online alias ojol naik 6% menjadi US$ 186 juta atau Rp 2,92 triliun (kurs Rp 15.697 per US$)
  • Insentif untuk konsumen naik 8% menjadi US$ 266 juta atau Rp 4,17 triliun (kurs Rp 15.697 per US$)

Grab menyampaikan, perusahaan konsisten berinvestasi dalam meluncurkan inisiatif produk baru untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Selain itu, wahana transportasi Saver kini tersedia di lima pasar. Layanan anyar ini berperan penting dalam menambah lebih banyak pengguna ke platform Grab, serta menghasilkan peningkatan loyalitas dan keterlibatan.

“Seiring dengan terus meningkatnya adopsi layanan transportasi Saver, kami meluncurkan beberapa penawaran bernilai tinggi. Produk pemesanan kendaraan Advance Booking yang diluncurkan kembali awal tahun ini, menghasilkan pendapatan tiga kali lebih tinggi per perjalanan bagi mitra pengemudi dibandingkan produk konvensional GrabCar,” kata Grab dalam keterangan pers, pekan lalu (15/8).

Gojek juga mencatatkan kenaikan gross transaction bruto alias GTV 7% menjadi Rp 29,4 triliun selama Januari - Juni atau Semester I. Akan tetapi, pesaing Grab ini tidak memerinci besaran insentif yang diberikan kepada konsumen maupun mitra pengemudi taksi dan ojek online alias ojol.

Benarkah Daya Beli Masyarakat Turun?

Indonesia mencatatkan deflasi atau penurunan harga barang selama tiga bulan berturut-turut. Rinciannya sebagai berikut:

  • Mei: Deflasi 0,03% secara bulanan atau month to month (mtm) dan inflasi 2,84% secara tahunan alias year on year (yoy)
  • Juni: Deflasi 0,08% mtm dan inflasi 2,51% yoy
  • Juli: Deflasi 0,18% mtm dan inflasi 2,13% yoy

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana khawatir, deflasi secara bulanan atau mtm tiga bulan berturut-turut menjadi tanda daya beli menurun. “Sebab, ini bukan hal biasa di Indonesia," ujar Fikri kepada Katadata.co.id, dua pekan lalu (1/8).

Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI juga menunjukkan, ekspansi pada kategori calon kelas menengah dan kelas menengah pada 2014 hingga 2018 mengindikasikan tren positif dari mobilitas sosial ke atas.

Pada periode tersebut, proporsi populasi miskin dan rentan menurun, sedangkan calon kelas menengah dan kelas menengah bertambah.

Akan tetapi, ekspansi calon kelas menengah mengindikasikan adanya kemunduran selama 2018 hingga 2023. “Mengindikasikan adanya pergeseran dari individu yang sebelumnya merupakan kelas menengah ke calon kelas menengah atau bahkan rentan,” ujar Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky dalam riset, pekan lalu (9/8).

Hal itu terlihat dari pola konsumsi kelas menengah, sebagai berikut:

2014 (sumbangan konsumsi kelompok masyarakat tertentu terhadap total):

  • Calon kelas menengah: 41,8%
  • Kelas menengah: 34,7%

2018:

  • Calon kelas menengah: 42,4%
  • Kelas menengah: 41,9%

2023:

  • Calon kelas menengah: 45,5%
  • Kelas menengah: 36,8%

Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi konsumsi calon kelas menengah dan kelas menengah terhadap total pada 2023 menurun dibandingkan 2018.

Akan tetapi, Pelaksana tugas alias Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan, deflasi tiga bulan berturut-turut ini terutama disumbang oleh volatile food atau komponen harga yang bergejolak seperti pangan.

"Ini sebenarnya pernah terjadi dulu pada Juli sampai September 2020, ini bukan hal pertama kali,"kata Amalia saat konferensi pers, dua minggu lalu (1/8).

Deflasi bisa terjadi karena adanya penurunan harga atau permintaan, terutama jika produksi barang atau jasa melebihi permintaan pasar.

"Perlu ada analisis lebih lanjut, karena penurunan harga belum tentu menandakan penurunan daya beli masyarakat,” ujar dia.