Facebook Dituntut Pisah dengan Instagram dan WhatsApp

Katadata
Ilustrasi Facebook
Penulis: Desy Setyowati
10/12/2020, 10.42 WIB

Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat (AS) dan hampir setiap negara bagian mengajukan tuntutan hukum agar Facebook Inc menjual WhatsApp dan Instagram. Alasannya, besarnya bisnis perusahaan media sosial ini dinilai mempersulit pesaing yang lebih kecil.

Mereka meminta Faceboook membatalkan akuisisi terhadap Instagram dan WhatsApp. Raksasa teknologi ini mengakuisisi Instagram US$ 1 miliar pada 2012 dan WhatsApp US$ 19 miliar pada 2014.

"Selama hampir satu dekade, Facebook menggunakan dominasi dan kekuatan monopoli untuk menghancurkan pesaing yang lebih kecil dan mematikan persaingan. Semua dengan mengorbankan pengguna sehari-hari," kata Jaksa Agung New York Letitia James atas nama koalisi 46 negara bagian, Washington, DC dan Guam, dikutip dari Reuters, Kamis (10/12).

Sedangkan Alabama, Georgia, Carolina Selatan dan South Dakota tidak berpartisipasi dalam gugatan tersebut.

Penasihat umum Facebook Jennifer Newstead menilai, tuntutan hukum itu sebagai ‘sejarah revisionis’. Ia berharap, undang-undang antimonopoli bukan untuk menghukum perusahaan yang ‘sukses’.

Ia menyatakan bahwa WhatsApp dan Instagram berhasil justru setelah diakuisisi oleh Facebook. "Pemerintah sekarang menginginkan penyelesaian, mengirimkan peringatan mengerikan kepada bisnis Amerika bahwa tidak ada penjualan yang final," kata Newstead.

Dia juga meragukan dugaan kerugian atas akuisisi Facebook terhadap Instagram dan WhatsApp. Ia beralasan bahwa konsumen justru diuntungkan dengan adanya layanan WhatsApp gratis.

Di satu sisi, persaingan dinilai sehat dengan adanya YouTube, Twitter, dan WeChat. “Mereka baik-baik saja,” kata Newstead.

Dalam sebuah unggahan di platform diskusi internal Facebook, CEO Mark Zuckerberg mengatakan kepada karyawan bahwa dia tidak mengantisipasi dampak apa pun terhadap tim maupun individu sebagai akibat dari tuntutan hukum tersebut.

Alasannya, “tuntutan itu merupakan satu langkah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun secara keseluruhan,” kata Mark.

Facebook meminta pegawai untuk tidak mengunggah konten terkait tuntutan tersebut. Namun, perusahaan tidak berkomentar terkait pernyataan Mark.

Selain Facebook, Departemen Kehakiman AS menggugat Google Alphabet Inc pada Oktober lalu terkait dugaan monopoli. Subkomite Kehakiman Kongres AS merilis laporan terkait praktik monopoli oleh raksasa teknologi. Mereka pun menyerukan reformasi Undang-Undang atau UU Antimonopoli.

Manajer portofolio di Synovus Trust Dan Morgan menilai, regulator tampaknya bukan hanya akan memberikan sanksi denda atas praktik monopoli jika terbukti nantinya, tetapi juga berpotensi mengubah cara perusahaan menjalankan bisnis. “Dulu, ada banyak basa-basi, tapi sekarang cukup aktif,” kata dia dikutip dari Reuters, Oktober lalu (27/10).

Sebelumnya, anggota subkomite dari Partai Demokrat Pramila Jayapal optimistis, reformasi UU Antimonopoli akan diperkenalkan dalam tiga sampai enam bulan ke depan. Walaupun ada tantangan dari sisi pemilihan presiden dan kongres.

Pramila menilai reformasi UU itu penting, karena selama ini pemerintah sulit memenangkan perkara dugaan pelanggaran antimonopoli. Padahal, konsumen dan startup kecil akan sulit berkembang akibat praktik monopoli.

"Inovasi dan kreativitas benar-benar terhambat dan bagaimana bisnis kecil dan konsumen merugi," kata Jayapal dikutip dari CNBC Internasional, awal Oktober lalu (7/10).

Rencana mereformasi UU itu muncul, setelah subkomite antimonopoli merilis laporan terkait dugaan praktik monopoli oleh raksasa teknologi. Laporan ini merupakan hasil penyelidikan selama 16 bulan.

Laporan itu memerinci praktik monopoli dan perilaku antikompetitif yang diduga dilakukan oleh Google, Apple, Facebook, dan Amazon. Keempat perusahaan dinilai menggunakan kekuatannya untuk mengekstraksi konsesi dan mendikte persyaratan kepada pesaing.