Tren Teknologi Pendidikan Tahun 2021: Belajar Lewat TikTok hingga Gim

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/hp.
Seorang guru memberikan pelajaran saat proses belajar mengajar di salah satu rumah siswa di Desa Nuruwe, Seram Bagian Barat, Maluku, Senin (9/11/2020).
30/12/2020, 12.46 WIB

Perusahaan keamanan siber asal Rusia, Kaspersky memprediksi tren penggunaan teknologi di sektor pendidikan pada 2021. Dua di antaranya yakni konten pembelajaran lewat TikTok dan fitur gim di platform pendidikan.

Kaspersky menilai, pandemi corona mengubah cara belajar mengajar di banyak negara. Pada tahun ini, sekitar 1,5 miliar siswa tidak dapat bersekolah secara fisik akibat pagebluk virus corona.

“Akibatnya, sistem pendidikan di seluruh dunia mengalami perubahan yang signifikan. Para pengajar dipaksa menguasai berbagai platform baru, seperti Zoom,” kata perusahaan dalam siaran resmi, Selasa (29/12).

Kaspersky memperkirakan, tren penggunaan teknologi baru dalam sistem pendidikan berlanjut pada tahun depan. Pertama, maraknya penggunaan layanan video seperti TikTok dan YouTube untuk pendidikan.

Sekitar 60% guru di dunia menggunakan YouTube di kelas. Namun, ada banyak video yang tidak sesuai untuk pelajar di platform milik Google tersebut.

Google pun meluncurkan aplikasi video pendek Tangi. Berbeda dengan TikTok, Tangi berfokus pada konten pembelajaran seperti membuat kerajinan tangan atau do it yourself (DIY) hingga tutorial memasak, berdurasi satu menit.

Sedangkan pengembang TikTok, Bytedance Technology Co akan berfokus pada sektor pendidikan dengan meluncurkan produk baru, seperti Ruangguru. Perusahaan melihat pasar pendidikan sangat potensial.

Berdasarkan riset iiMedia Research, pendapatan sektor edukasi teknologi (edtech) di Tiongkok diperkirakan 453,8 miliar Yuan atau US$ 63,6 miliar pada tahun ini atau naik 12,3% dibandingkan 2019.

"Akan ada lebih banyak kreasi konten video pendidikan sebagai produk jadi dan digunakan sebagian oleh guru di kelas,” ujar perusahaan.

Tren kedua, pengembangan sistem manajemen pembelajaran atau learning management system yang memungkinkan pengajar melacak proses pembelajaran siswa. Google misalnya, meluncurkan produk baru terkait LMS pada tahun ini, yang diberi nama Assignments.

Melalui layanan itu, pengajar dapat membuat dan membagikan salinan tugas kelas yang dipersonalisasi ke folder Google Drive milik setiap siswa. Guru juga bisa memberikan masukan dengan cepat, serta menilai tugas secara konsisten dan transparan dengan laporan keaslian.

Kaspersky memperkirakan, pasar LMS baru akan terus berkembang pada 2021. Akan tetapi, potensi penipuan (phishing) dengan membuat situs berkedok pendidikan juga berpotensi meningkat. Tujuan utama oknum yakni mencuri data pribadi atau menyebarkan spam di komunitas pendidikan. 

Pada pertengahan tahun ini, Kaspersky mencatat ada 168.550 pengguna LMS yang menghadapi ancaman serangan siber. Angkanya meningkat 20,4% dibandingkan dengan 2019.

Selain itu, sistem LMS membuka potensi serangan siber seperti Zoombombing yang marak pada awal pandemi Covid-19. Kejahatan siber ini meningkat, karena penggunaan layanannya melonjak.

Tren ketiga, penggunaan platform media sosial dalam proses belajar mengajar. Facebook, Twitter, dan Instagram bisa menjadi alat untuk mendorong keterlibatan siswa selama dan setelah belaja.

Namun, konten yang beredar di media sosial banyak yang tidak sesuai untuk pelajar. Oleh karena itu, pengajar perlu mengatur pola belajar dan konten yang bisa diakses oleh murid.

Terakhir, maraknya penggunaan gim dalam belajar mengajar supaya siswa tidak bosan. Game online yang bisa digunakan seperti Minecraft, Classcraft, atau Roblox. Namun, “ada potensi penipuan dari orang tidak dikenal, file berbahaya yang disamarkan sebagai pembaruan atau add-on game, dan lainnya," kata Kaspersky.

Berdasarkan riset Google, Temasek, dan Bain and Company bertajuk ‘e-Conomy 2020’, aplikasi pendidikan di Asia Tenggara diunduh 20 juta kali sepanjang Januari-Agustus. Jumlahnya naik tiga kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya enam juta.

Platform pendidikan seperti Zenius mencatat bahwa jumlah pengguna meningkat 12 kali lipat secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 15,7 juta lebih per kuartal II. Sedangkan Ruangguru memiliki lebih dari 17 juta pengguna terdaftar atau naik dua juta lebih sejak awal tahun. Lalu, AyoBlajar menjangkau 13 ribu pelajar dan 23 sekolah.

Namun, Tech In Asia melaporkan, penyedia platform pendidikan Indonesia itu menghadapi tiga masalah utama. Pertama, kesediaan atau kemampuan pelanggan membayar layanan terbatas. Kedua, infrastruktur digital tidak memadai di beberapa daerah. Terakhir, minim talenta digital yang relevan. 

"Indonesia tertinggal jauh dibandingkan India dan Tiongkok terkait kesediaan membayar," demikian kata investor modal ventura dikutip dari Tech In Asia, Oktober lalu (2/10).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan