Facebook memblokir konten berita di Australia. Ini sebagai tindak lanjut atas ancaman perusahaan terhadap pemerintah Australia yang meminta Facebook membayar konten berita yang tampil di platform kepada media lokal.
Raksasa teknologi itu memblokir tautan ke penerbit di Australia. Dengan begitu, penerbit dan pengguna tidak bisa mengunggah, berbagi, ataupun melihat link berita di platform.
Facebook menilai bahwa kebijakan Australia, yang mewajibkan perusahaan membayar konten berita, tidak sesuai. "Undang-undang yang diusulkan pada dasarnya salah memahami hubungan antara platform kami dan penerbit, yang menggunakannya untuk berbagi konten," ujar Direktur pelaksana Facebook untuk Australia dan Selandia Baru, Will Easton dalam blog resmi, dikutip dari The Guardian, Kamis (18/2).
Will mengatakan, kebijakan itu membuat perusahaan menghadapi pilihan sulit. “Mematuhi UU yang mengabaikan realitas hubungan ini, atau berhenti mengizinkan konten berita pada layanan kami di Australia,” kata dia. “Dengan berat hati, kami memilih yang terakhir.”
Sejak Kamis pagi waktu setempat, situs berita pun tidak lagi tampil di halaman Facebook. Pengguna juga melaporkan adanya eror pada pop-up, ketika mencoba untuk mengunggah tautan berita.
Will mengklaim, penerbit mendapatkan manfaat lebih banyak ketimbang Facebook, dengan berbagi konten berita. Perusahaan mencatat, konten berita yang dibagikan di platform porsinya kurang dari 4%.
Ia menyatakan, perusahaan siap mendukung penyebaran kontan berita. “Tetapi hanya dengan aturan yang tepat,” kata Will.
Anggota parlemen Australia di bidang keuangan, Josh Frydenberg, mengatakan bahwa diskusi konstruktif dengan CEO Facebook Mark Zuckerberg berlangsung pada Kamis pagi. Ini membahas tentang kebijakan kode wajib bagi perusahaan untuk membayar konten berita kepada media lokal.
Menteri Komunikasi Australia Paul Fletcher mengatakan, langkah Facebook memblokir konten berita menimbulkan pertanyaan tentang kredibilitas informasi di platform. "Keputusan yang mereka ambil yakni (justru) menghapus semua sumber berita yang berwibawa dan kredibel," katanya kepada radio 2GB.
Ia menyampaikan, pemerintah Australia akan mempertimbangkan kondisi itu dengan sangat hati-hati. “Tetapi hal itu pasti menimbulkan masalah tentang kredibilitas informasi di platform,” ujar Paul.
Sedangkan Google telah menandatangani perjanjian dengan beberapa penerbit besar di Australia, termasuk News Corp, Nine Entertainment, dan Seven West Media. Padahal, sebelumnya mereka mengancam akan berhenti menyediakan layanan mesin pencarian di Negeri Kanguru.
Hal itu karena Google memang sudah menyiapkan US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun untuk membayar konten berita berlisensi. Vice President of Product Management for News Google Brad Bender menyadari bahwa pendapatan kantor berita dari iklan turun selama pandemi corona.
Oleh karena itu, perusahaan sepakat untuk membayar konten yang ditampilkan. Google pun sudah menandatangani kesepakatan lisensi dengan sekitar 200 media di sejumlah negara seperti Jerman, Brasil, Argentina, Kanada, Inggris, Australia, India, Belgia, dan Belanda.