PP Turunan UU Cipta Kerja Terbit, Migrasi TV Digital Wajib Akhir 2022

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.
Siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) mengikuti kegiatan belajar mengajar di rumah melalui siaran televisi TVRI di Depok, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020).
Penulis: Desy Setyowati
22/2/2021, 12.44 WIB

Pemerintah resmi menerbitkan 49 aturan turunan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja. Salah satunya Peraturan Pemerintah (PP) 46 Tahun 2021 tentang pos, telekomunikasi, dan penyiaran yang mewajibkan televisi beralih dari analog ke digital paling lambat November 2022.

Pada pasal 97 disebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Swasta (LPS), dan Komunitas (LPK) dapat bersiaran secara analog dan digital bersamaan atau simulcast saat ini. “Selanjutnya wajib menghentikan siaran televisi analog paling lambat 2 November 2022 pukul 24.00 WIB,” demikian dikutip dari PP, Senin (22/2).

Jika tidak beralih ke digital hingga batas waktu yang ditentukan, maka izin stasiun radio (ISR) akan dicabut.

Penyelenggaraan penyiaran secara digital itu dilakukan melalui multipleksing. Penyediaan layanan multipleksing untuk jasa penyiaran radio yang menggunakan teknologi digital melalui media terestrial. Pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah.

Layanan multipleksing yakni menggunakan infrastruktur yang menggabungkan transmisi dua program siaran atau lebih melalui slot yang menjadi bagian dari kapasitas. Sedangkan multiplekser atau mux adalah peranti untuk menyalurkan aliran data yang berbeda melalui jalur komunikasi umum.

Namun, pemerintah belum menentukan model multipleksing single atau hybrid. Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) akan menetapkan penyelenggaraan migrasi televisi alias analog switch off (ASO) itu dengan memperhatikan tiga hal yakni kecukupan cakupan, penetrasi perangkat penerima atau set top box, dan pemahaman masyarakat.

Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi televisi dari analog ke digital ini akan diatur dalam Peraturan Menteri. Kementerian Kominfo pun berencana menyediakan 6,7 juta set top box bagi masyarakat kurang mampu.

Dalam hal penyediaan alat bantu penerimaan siaran atau set top box dapat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau sumber lainnya, sesuai ketentuan. Kriteria penerima dan mekanisme pendistribusian alat ditetapkan oleh menteri.

Menteri juga menyeleksi penyelenggara multipleksing untuk LPS jasa penyiaran televisi dengan mempertimbangkan sembilan hal. Pertimbangan itu di antaranya kepentingan nasional, pemerataan penyebaran informasi, kesiapan infrastruktur multipleksing, dan investasi penyelenggara.

Selain itu, perencanaan penggunaan spektrum frekuensi radio, kesiapan ekosistem penyelenggaraan, efisiensi industri, perlindungan investasi, persiapan penghentian siaran analog.

Pada pasal 82 juga disebutkan bahwa penghitungan tarif sewa slot multipleksing dilakukan oleh penyelenggara. Namun wajib mengacu pada formula tarif, serta memperoleh persetujuan menteri.

Penyelenggara multipleksing wajib mempublikasikan pembukaan peluang kerja sama dan informasi mengenai slot yang disewakan. Informasi ini memuat paling sedikit tujuh hal yakni jenis layanan sewa, wilayah siaran, kapasitas slot yang tersedia, dan tarif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, kualitas layanan, prosedur penyediaan layanan sewa slot multipleksing, dan syarat penyewaan. “Informasi ini wajib disampaikan secara terbuka paling sedikit melalui situs web resmi,” demikian dikutip.

PP Nomor 46 Tahun 2021 itu juga mengatur tentang berbagi infrastruktur pasif dan aktif termasuk Base Transceiver Station (BTS) dan spektrum frekuensi. Selain itu, tentang peran pemerintah pusat dan daerah dalam membantu perusahaan telekomunikasi yang membangun infrastruktur.