Facebook kalah menghadapi gugatan pelanggaran data pribadi yang diajukan 1,6 juta pengguna dalam bentuk class action. Hakim distrik di Amerika serikat (AS) menyetujui penyelesaian kasus dengan mendenda perusahaan milik Mark Zuckenberg sebesar US$ 650 juta atau Rp 9,3 triliun.
Para penggugat menuduh Facebook telah melanggar Undang-Undang Privasi Illinois karena penggunaan teknologi biometrik pengenalan wajah. Facebook tidak mengajukan persetujuan terlebih dulu sebelum mengidentifikasi wajah melalui teknologi biometrik itu.
Hakim distrik AS James Donato memutuskan masing-masing penggugat mendapatkan kompensasi minimal US$ 345 atau Rp 4,9 juta. "Ini kemenangan besar bagi konsumen di bidang privasi digital yang diperebutkan dengan panas," kata hakim dikutip dari The Guardian pada akhir pekan lalu (27/2).
Pengacara di Chicago yang mengajukan gugatan itu Jay Edelson mengatakan bahwa Facebook diberi waktu untuk membayar kompensasi melalui pos dalam waktu dua bulan. Akan tetapi, bisa saja perusahaan mengajukan banding atas putusan hakim itu.
Namun, Facebook menganggap penyelesaian kasus berdasarkan putusan hakim merupakan opsi terbaik. "Kami senang telah mencapai penyelesaian sehingga kami dapat mengatasi masalah ini, yang merupakan kepentingan terbaik komunitas kami dan pemegang saham kami," kata Facebook dalam sebuah pernyataan.
Facebook bukan hanya sekali terseret kasus penyalahgunaan data pribadi. Sebelumnya, sebanyak 87 juta pengguna Facebook disalahgunakan data pribadinya oleh firma konsultan politik Cambridge Analytica untuk kepentingan tim kampanye pemilu mantan Presiden AS Donald Trump.
Dalam skandal yang terungkap pada Maret 2018 lalu ini, mayoritas pengguna yang datanya diakses secara ilegal berada di Amerika Serikat. Namun, ada juga data pengguna Inggris, Australia, Filipina, bahkan Indonesia yang turut bocor.
CEO Apple Tim Cook bahkan telah mengkritik cara Facebook memanfaatkan data pengguna. Dalam konferensi privasi data di Brussels Swiss, Cook berpidato terkait model bisnis pemanfaatan data pengguna oleh perusahaan teknologi. Saat itu, ia mengatakan bahwa memanfaatkan data pengguna untuk meraup keuntungan dari iklan, pantas dicemooh.
"Jika bisnis dibangun di atas penyesatan pengguna atas eksploitasi data, dan dia (konsumen) tidak punya pilihan sama sekali, maka itu tidak pantas mendapatkan pujian. Itu layak dicemooh" kata Tim dikutip dari CNET, Februari lalu (2/2).
Apple juga merilis laporan berjudul ‘A Day in the Life of Your Data’. Dalam laporan ini, perusahaan menjelaskan cara perusahaan teknologi seperti Facebook dan Google dalam mengumpulkan data pengguna.
Menurut laporan itu, aplikasi mobile memiliki enam pelacak dari pihak ketiga. Pelacak itu berfungsi mengumpulkan dan melacak data pengguna, serta mengumpulkan informasi pribadi. "Industri besar dan ‘buram’ telah mengumpulkan semakin banyak data pribadi. Mereka melacak dan mengambil data pengguna secara online dan offline," demikian dikutip dari laporan itu, Januari lalu (28/1).
Perusahaan teknologi itu mengumpulkan data dari berbagai sumber. Kemudian, memonetisasinya yang nilainya bisa mencapai US$ 227 miliar per tahun.