Raup Rp 1,5 Triliun, Pendapatan TikTok Terbesar di Dunia

123RF.com/Alexey Malkin
Ilustrasi aplikasi video musik pendek TikTok
10/3/2021, 10.31 WIB

Laporan Sensor Tower menunjukkan, pendapatan bruto aplikasi video pendek asal Tiongkok, TikTok mencapai US$ 110 juta atau Rp 1,5 triliun per Februari. Ini merupakan yang terbesar di dunia untuk kategori aplikasi non-gim.

Pendapatan aplikasi besutan ByteDance itu meningkat 1,9 kali lipat dibandingkan Januari (month to month/mtm). "TikTok menjadi aplikasi dengan berpenghasilan kotor tertinggi di dunia," demikian isi laporan, dikutip dari South China Morning Post, Selasa (9/3).

Sekitar 79% berasal dari pengguna Douyin di Tiongkok. Douyin merupakan aplikasi TikTok khusus di Negeri Panda.

Kontribusi terbesar kedua dari pengguna di Amerika Serikat (AS) yakni 8%. Disusul oleh Turki 3%.

Aplikasi dengan total pendapatan terbesar kedua di dunia yakni YouTube. Penghasilan platform besutan Google ini US$ 82 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun, meningkat 23% secara tahunan (year on year/yoy).

Pendapatan dari pengguna di AS menyumbang 51%. Kemudian, dari Jepang 12%.

Posisi ketiga ditempati oleh aplikasi kencan Tinder. Lalu, platform manga Piccoma dan streaming Tencent Video. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

TikTok menjadi aplikasi dengan pendapatan bruto terbesar di dunia pada Februari 2021 (Sensor Tower)

SensorTower mencatat, TikTok menjadi aplikasi dengan jumlah unduhan terbanyak di dunia per Februari, yakni lebih dari 56 juta kali. Sebanyak 18% berasal dari Tiongkok, dan 11% AS.

Posisi kedua hingga keempat aplikasi dengan jumlah unduhan terbanyak dikuasai oleh Facebook. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:

TikTok menjadi aplikasi dengan jumlah unduhan terbanyak di dunia per Februari 2021 (Sensor Tower)

Pangsa pasar terbesar Facebook yakni India, porsinya 27%. Disusul oleh AS 8%.

Sedangkan posisi keempat ditempati oleh Telegram, yang pada bulan sebelumnya sempat menempati urutan teratas. Telegram memimpin pada Januari, karena pengguna WhatsApp ramai-ramai beralih.

Saat itu, WhatsApp memperkenalkan kebijakan penggunaan data pengguna yang baru. Aturan ini menuai pro dan kontra, sehingga sebagian pengguna beralih ke aplikasi percakapan lain seperti Telegram.

Pada Februari, TikTok menggeser posisi Telegram. Padahal, TikTok sempat ditekan oleh AS dan diminta untuk menjual sebagian sahamnya kepada perusahaan di Negeri Paman Sam.

Mantan Presiden AS Donald Trump memberikan batasan waktu kepada pengembangnya yakni ByteDance, untuk menjual operasional TikTok di AS.

ByteDance sempat berencana membentuk TikTok Global untuk operasional di AS. Perusahaan asal AS, Oracle rencananya mempunyai 12,5% dan Walmart 7,5% saham.

Setelah Joe Biden memimpin AS, ByteDance membatalkan kesepakatan dengan Oracle dan Wallmart. "Trump telah pergi. Alasan kesepakatan itu hilang bersamanya," kata sumber yang mengetahui masalah ini, dikutip Business Insider, Februari lalu (15/2).

Sedangkan The Wall Street Journal melaporkan bahwa pemerintahan AS di bawah kendali Biden menunda kesepakatan TikTok dan Oracle. AS akan meninjau kembali sanksi tersebut. "Pemerintah tidak mengambil langkah proaktif baru terhadap TikTok," kata sekretaris pers Gedung Putih, Jen Psaki, Februari lalu (10/2).

Juru bicara Badan Keamanan Nasional AS Emily Horne mengatakan, Biden akan melakukan pendekatan berbeda dibandingkan Trump soal TikTok. Pemerintahan akan mempertimbangkan upaya yang sudah dilakukan TikTok dalam mengamankan data pribadi pengguna di AS.

"Kami berencana untuk mengembangkan pendekatan komprehensif untuk mengamankan data warga AS atas berbagai ancaman yang mengintai," kata Emily.

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan