Persaingan Bisnis Gim di Tiongkok Kian Ketat, Pengaruh ke Indonesia?

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.
Seorang pria memainkan game online PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG) di Jakarta, Minggu (31/5/2020).
8/4/2021, 13.23 WIB

Persaingan bisnis gim di Tiongkok semakin ketat dengan kehadiran beberapa pemain baru. Setelah induk TikTok, giliran situs video online Bilibili mengkaji pembelian perusahaan game online Yoozoo Games.

Bilibili dalam pembicaraan untuk membeli 24% saham dan gedung markas Yoozoo Games. “Ini sebagai bagian dari kesepakatan hampir 5 miliar yuan (US$ 765 juta),” kata dua sumber dikutip dari Reuters, Kamis (8/4).

Bulan lalu, Bilibili dan pendirinya Chen Rui menyerahkan term sheet kepada ketua Yoozoo Xu Fenfen. Term sheet yakni perjanjian tidak mengikat yang menjelaskan syarat dan ketentuan dasar dari investasi.

Namun, juru bicara Bilibili membantah sedang membahas kesepakatan dengan Yoozoo. Sedangkan Bilibili didukung oleh Tencent Holdings dan Alibaba Group Holding.

Tencent dikenal dengan gim PUBG. Nico Partners melaporkan bahwa Tencent berinvestasi di 31 perusahaan gim pada tahun lalu. Padahal, biasanya hanya sekitar 10 per tahun. Itu dilakukan untuk menghadang ByteDance yang merambah bisnis gim.

Perusahaan gim yang disuntik modal oleh Tencent pada 2020 (Nico Partners)

Berdasarkan laman resmi, Tencent Games memiliki lebih dari 140 gim yang dikembangkan sendiri dan berlisensi. Beberapa game online yang terkenal yakni PUBG Mobile, Honor of Kings, dan League of Legends.

PUBG Mobile dan Honor of Kings pun menjadi gim dengan total pendapatan tertinggi pada tahun lalu. Angkanya sebagai berikut:

Berdasarkan data Statista, basis pengguna PUBG melampaui 70 juta per Juli 2020. Pada Januari lalu, 452 ribu pemain bermain PUBG bersamaan dalam satu bulan. Sedangkan Honor of Kings melaporkan 100 juta pengguna harian di seluruh dunia per tahun lalu.

Bulan lalu, Gizchina melaporkan bahwa Tencent berencana memperluas pasar dengan membuat konsol atau perangkat gim seperti PlayStation. Selama ini Tencent berfokus pada konten dan perangkat lunak (software) game online.

Tencent pun bakal mengadakan kemitraan dengan produsen ponsel pintar (smartphone) seperti Asus ROG, Red Magic dan Black Shark. "Saat ini mungkin pabrikan sedang mempertimbangkan berbagai pilihan desain," kata sumber dikutip dari Gizchina, bulan lalu (23/3).

Sedangkan induk TikTok, ByteDance mengakuisisi pengembang game online Mobile Legends, Moonton US$ 4 miliar atau Rp 57,7 triliun. Anak usahanya, Nuverse disebut berperan di balik akuisisi tersebut.

Itu bertujuan diversifikasi usaha di luar periklanan. Perusahaan Tiongkok itu ingin mengambil bagian dari bisnis gim seluler, yang pasarnya mencapai US$ 86 miliar.

Sedangkan Moonton membuat gim pertarungan secara virtual atau multiplayer online battle arena (MOBA), Mobile Legends. Dua pesaing Mobile Legends yakni Honor of Kings dan League of Legends dari Tencent.

"Moonton merupakan mitra sempurna untuk membantu kami mengembangkan strategi gim di pasar internasional,” kata ByteDance dalam pernyataan dikutip dari CNBC Internasional, bulan lalu (23/3).

Bagaimana Pengaruhnya ke Indonesia?

Pengembang game online Tanah Air, Agate menilai ada empat persoalan yang harus dihadapi oleh perusahaan di sektor ini. Pertama, masyarakat lebih memilih game buatan luar negeri. “Pangsa pasar gim lokal hanya 0,4%,” kata CEO Agate Arief dalam acara Next Gen Summit 2021, Selasa (6/4).

Sedangkan pangsa pasar gim Tiongkok mencapai 68% di Nusantara. Game online asal Negeri Panda seperti PUBG, Game for Peace, Clash of Clans, dan lainnya.

Hal tersebut membuat investasi gim Tanah Air rendah. Dalam setahun hanya US$ 2 juta. Sedangkan di Vietnam bisa mencapai US$ 50 juta.

Masalah kedua, persaingan yang ketat. Dalam sebulan, ada 30 ribu gim baru yang rilis secara global. “Persaingan langsung dengan pemain global seperti Tencent dari Tiongkok," ujarnya.

Ketiga, tingginya ongkos iklan. Arief mengatakan, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyasar pengguna baru rerata meningkat 20%-30% per tahun. “Biaya iklan semakin mahal,” kata dia.

Terakhir, tuntutan biaya produksi yang mahal. Sebab, ekspektasi pengguna terus meningkat dan mengharapkan kualitas gim yang bagus.

Di sisi lain, industri gim di Indonesia tumbuh 10-20% pada awal pandemi. Angka ini berdasarkan catatan Asosiasi Gim Indonesia (AGI).

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan