Facebook, YouTube, TikTok Blokir Konten Soal Taliban, Kecuali Twitter
Kelompok Taliban telah resmi menguasai pemerintahan Afghanistan sejak Minggu (15/8). Beberapa perusahaan media sosial seperti Facebook, YouTube, hingga TikTok, kompak memblokir semua konten terkait kelompok itu. Hanya Twitter yang memilik sikap berbeda.
Facebook misalnya, tidak akan mencabut larangan konten yang mempromosikan Taliban meski kelompok islam konservatif itu menguasai Afghanistan. Mengutip CNBC, Facebook masih menganggap Taliban sebagai organisasi teroris.
Kemudian, di platform-nya Facebook memiliki tim moderator konten khusus yang memantau sekaligus menghapus postingan, gambar, video, dan konten lain yang terkait dengan Taliban.
"Taliban dikenai sanksi sebagai organisasi teroris di bawah hukum Amerika Serikat (AS). Kami telah melarang mereka dari layanan kami di bawah kebijakan organisasi berbahaya kami," ujar juru bicara Facebook dikutip dari CNBC pada Rabu (18/8).
Taliban memang telah dilarang dari Facebook sejak beberapa tahun lalu. Facebook mengatakan tindakan pelarangan itu meliputi penghapusan akun yang dikelola oleh atau atas nama Taliban, serta akun yang memuji, mendukung, dan mewakili mereka.
Larangan Facebook juga berlaku untuk Instagram dan WhatsApp. Meski begitu, terdapat laporan yang menunjukkan bahwa Taliban masih menggunakan WhatsApp untuk berkomunikasi.
Namun, platform percakapan itu telah dienkripsi dari ujung-ke-ujung. Artinya, Facebook tidak dapat melihat apa yang dibagikan orang di dalamnya.
"Kami memang tidak memiliki akses ke konten obrolan pribadi orang, tetapi jika kami mengetahui bahwa individu atau organisasi yang terkena sanksi mungkin ada di WhatsApp, kami akan mengambil tindakan,” kata juru bicara WhatsApp.
Databoks berikut adalah 10 negara yang paling terdampak aksi terorisme di dunia. Afghanistan berada di urutan teratas dengan angka kematian dan luka-luka tertinggi:
WhatsApp juga menggunakan perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk mengevaluasi informasi grup yang tidak terenkripsi, seperti nama, foto profil, dan deskripsi grup. Apabila ditemukan informasi atas nama Taliban, WhatsApp kemudian mengambil tindakan.
Platform lainnya TikTok, juga mengatakan bahwa mereka telah menetapkan Taliban sebagai organisasi teroris. Kemudian, perusahaan akan terus menghapus konten yang memuji, memuliakan, atau memberikan dukungan kepada Taliban.
Lalu, YouTube mengatakan bahwa mereka menerapkan kebijakan lama untuk Taliban. YouTube tidak mengizinkan akun yang diyakini dioperasikan oleh Taliban di situsnya.
Platform lainnya Twitter mengaku sedang meninjau aturannya untuk Taliban. Perusahaan mengaku akan menindak konten yang mungkin melanggar, khususnya terhadap pemuliaan kekerasan atau manipulasi platform.
Padahal, sebuah laporan menunjukkan bahwa juru bicara Taliban menggunakan Twitter dan mempunyai ratusan ribu pengikut. Kemudian, di akun Twitter-nya itu ia menulis pembaruan status selama pengambilalihan pemerintah Afghanistan oleh Taliban. Namun, Twitter tidak berkomentar terkait hal tersebut.
"Situasi di Afghanistan berkembang pesat. Kami juga menyaksikan orang-orang di negara itu menggunakan Twitter untuk mencari bantuan dan bantuan. Tapi, prioritas utama Twitter adalah menjaga orang tetap aman, dan kami tetap waspada," katanya dikutip Business Insider pada Selasa (17/8).
Diketahui, Taliban menguasai Afghanistan hanya dalam tempo 10 hari sejak penarikan pasukan AS dari negara itu. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani kemudian dilaporkan mengungsi ke Oman. Selain itu, ribuan warga juga mencoba melarikan diri dari Afghanistan.
Profesor komunikasi politik di Universitas Oxford Rasmus Nielsen mengatakan bahwa penting bagi perusahaan media sosial untuk bertindak dalam situasi krisis seperti di Afghanistan. "Setiap kali seseorang dilarang, ada risiko mereka hanya menggunakan platform untuk tujuan yang sah," katanya.
Platform media sosial juga menurutnya mesti bertindak bersama. Sebab, apabila ada ketidaksepakatan antar media sosial, seperti penggunaan istilah ‘terorisme’ maka akan menimbulkan ketidakadilan.
"Banyak pengguna akan mencari jaminan bahwa teknologi apa pun yang digunakan untuk penegakan menjaga privasi mereka," kata Nielsen.