Beberapa perusahaan seperti induk Facebook, Meta, Apple hingga agensi Blackpink, YG Entertainment merambah metaverse dunia virtual. Namun, mantan pegawai Facebook Frances Haugen dan eks CEO Google Eric Schmidt khawatir atas kehadiran teknologi ini.
Haugen khawatir atas cara induk Facebook mengelola data pengguna dan algoritme di dunia virtual metaverse. “Facebook belum benar-benar merancang keamanan dengan desain ke dalamnya sejak awal,” kata dia dikutip dari CBS News, akhir pekan lalu (18/12).
Ia menjelaskan bahwa platform seperti TikTok, di mana sebagian kecil konten menghasilkan sebagian besar tampilan, lebih mudah dimoderasi dibandingkan dengan model Facebook yang lebih terdistribusi.
Sedangkan di dunia virtual, moderasi konten, menghapus disinformasi, dan melacak pelanggar akan menjadi tantangan. Ini karena interaksi tidak direkam.
"Anda tidak tahu siapa orang yang berkomentar mengerikan," kata Haugen.
Mantan CEO Google Eric Schmidt pun menilai bahwa metaverse bisa berdampak buruk kepada manusia. "Saya sudah menunggu selama sekitar tiga puluh tahun teknologi ini. Tapi, apakah Facebook akan mampu membangunnya, saya tidak tahu," kata dia dikutip dari CNBC Internasional, bulan lalu (2/11).
Schmidt menjabat sebagai CEO di Google selama 2001 hingga 2011. Setelah itu, ia menjabat posisi executive chairman dan keluar dari Google tahun lalu.
Ia mengatakan, teknologi dunia virtual atau metaverse akan menimbulkan masalah baru bagi manusia. Sebab, orang menjadi lupa akan kehidupan nyata dan lebih mengedepankan dunia virtual.
"Jadi, metaverse ini belum tentu hal terbaik bagi manusia," kata Schmidt dikutip dari Business Insider.
Ia juga menilai, teknologi dunia virtual alias metaverse membawa tantangan regulasi. "Dalam beberapa tahun, orang akan memilih untuk menghabiskan waktu dengan kacamata metaverse. Tapi siapa yang menetapkan aturan?" ujarnya.
Selain itu, metaverse membawa risiko keamanan siber. Schmidt mengatakan, Facebook yang berganti nama menjadi Meta akan menjalankan sebagian besar algoritme dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) sebagai dewa raksasa palsu. Ini dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat dan parasosial.
Analis juga mengatakan, pengembangan metaverse bisa menimbulkan lebih banyak risiko penyalahgunaan media sosial. "Tanpa kepercayaan, rencana metaverse Meta sudah berisiko," kata Direktur Riset Forrester Mike Proulx dikutip dari BBC Internasional pada Oktober (31/10).
Sedangkan kolumnis The Guardian Arwa Mahdawi khawatir soal pelecehan di dunia virtual. “Pelecehan seksual bukanlah lelucon di internet biasa, tetapi berada di virtual reality (VR) menambahkan lapisan lain yang membuat acara lebih intens,” kata dia dikutip dari The Guardian, akhir pekan lalu (18/12).
Merujuk pada dunia virtual Horizon Worlds yang dirilis oleh Facebook pada dua pekan lalu (10/12), Arwa menilai perlu ada fitur ‘zona nyaman’. ‘Tools’ ini dapat diaktifkan jika pengguna merasa terancam.
Induk Facebook, Meta membuka aplikasi dunia virtual Horizon Worlds di Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Namun platform ini baru tersedia untuk pengguna di atas 18 tahun.
Aplikasi dunia virtual, Horizon Worlds diluncurkan dalam versi beta tahun lalu. Ini pun terbatas untuk pengguna Oculus VR yang mendapatkan undangan.
“Kini, pengguna tidak perlu diundang untuk bisa mengakses platform dunia virtual tersebut,” demikian dikutip dari CNBC Internasional, dua pekan lalu (10/12).
Peluncuran Horizon Worlds yang lebih luas merupakan langkah penting bagi Facebook, yang secara resmi mengubah namanya menjadi Meta pada Oktober.
Tidak seperti di film Ready Player One, avatar di Horizon Worlds dibuat tanpa kaki.
Pengguna headset VR Oculus perlu membuat avatar untuk berkeliaran di dunia virtual. Di sana, mereka dapat bermain game online dan berinteraksi dengan avatar pengguna lain.
Facebook mengakuisisi Oculus US$ 2 miliar pada 2014. Induk Instagram dan WhatsApp ini kemudian membangun teknologi metaverse.