Platform pencarian kerja online di Denmark, Jobindex menggugat Google ke regulator Uni Eropa. Layanan Google for Jobs dianggap mengambil pangsa pasar secara tidak adil atau monopoli.
Gugatan dari Jobindex itu dinilai dapat mempercepat pengawasan tindakan monopoli oleh regulator di Uni Eropa terhadap Google. Sejak tiga tahun lalu, otoritas mengamati tindakan khusus terkait sektor pencarian kerja online.
Layanan Google for Jobs hadir di Eropa pada 2018. Namun, kehadirannya memicu kritik dari 23 situs web pencari kerja online pada 2019.
Mereka mengatakan telah kehilangan pangsa pasar setelah Google diduga menggunakan cara yang tidak adil untuk mendorong layanan barunya.
Tautan layanan Google mengarah kepada unggahan yang dikumpulkan dari banyak perusahaan. Ini memungkinkan kandidat untuk menyaring, menyimpan, dan mendapatkan peringatan tentang lowongan, meskipun mereka harus pergi ke platform lain untuk melamar.
Google juga menempatkan widget besar untuk alat di bagian atas hasil pencarian web biasa.
Jobindex merupakan salah satu dari 23 kritikus. Perusahaan mengatakan, Google membelokkan pasar di Denmark yang sangat kompetitif ke arah anti-persaingan.
Pendiri sekaligus CEO Jobindex Kaare Danielsen mengatakan telah membangun basis data pekerjaan terbesar di Denmark. “Namun, dalam waktu singkat setelah pengenalan Google for Jobs di Denmark, Jobindex kehilangan 20% traffic pencarian ke layanan Google yang lebih rendah,” kata Danielsen dikutip dari Reuters, Senin (27/6).
Jobindex juga telah melihat contoh adanya praktik tidak adil. Beberapa iklan lowongan yang dirilis perusahaan disalin tanpa izin dan dipasarkan melalui Google for Jobs. Padahal, ada risiko privasi bagi pelamar kerja dan kliennya.
Menurutnya, tindakan Google itu tidak hanya menghambat persaingan di antara layanan rekrutmen, tetapi juga merusak pasar tenaga kerja.
Jobindex mendesak regulator Uni Eropa memerintahkan Google menghentikan dugaan praktik anti-persaingan itu. Selain itu, mendenda Google dan mengenakan pembayaran berkala untuk memastikan kepatuhan.
Google beberapa kali menghadapi gugatan dan bahkan denda terkait praktik monopoli. Akhir tahun lalu, raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) ini menghadapi denda US$ 2,8 miliar atau Rp 40 triliun dari Komisi Eropa karena dianggap melanggar aturan antimonopoli terkait layanan belanja online Google Shopping.
Pengadilan umum Uni Eropa memutuskan bahwa Google harus menghadapi denda dari Komisi Eropa karena terbukti bersalah. "Pengadilan umum menemukan bukti, Google menguntungkan layanan perbandingan belanjanya sendiri," kata pengadilan dalam siaran pers dikutip dari CNBC Internasional, tahun lalu (10/11/2021).
Pengadilan menganggap Google mempromosikan toko belanja sendiri dan menjatuhkan pesaing lainnya di fitur pencarian Google Shopping. Raksasa teknologi ini juga menurunkan hasil layanan pesaing melalui algoritme peringkat.