Otoritas ruang siber Cina atau The Cyberspace Administration of China (CAC) mendenda perusahaan berbagi tumpangan (ride-hailing) Didi US$ 1,19 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Beijing sebelumnya mendenda sejumlah raksasa teknologi, termasuk Alibaba dan Tencent.
Raksasa teknologi penyedia layanan taksi online, Didi dianggap melanggar Undang-Undang (UU) keamanan jaringan, UU keamanan data, dan UU perlindungan informasi pribadi Cina.
Didi pun didenda US$ 1,19 miliar atau 4,7% dari pendapatan perusahaan tahun lalu 174 miliar yuan. CAC juga mendenda dua eksekutif Didi masing-masing 1 juta yuan.
CAC mendenda perusahaan seperti Gojek itu, setelah melakukan penyelidikan selama setahun. Penyelidikan dilakukan saat Didi berencana mencatatkan saham perdana ke publik atau IPO di bursa efek New York, Amerika Serikat (AS).
Pemerintah Cina mengecam rencana IPO Didi di AS itu karena muncul kekhawatiran tentang keamanan data.
Kurang dari enam bulan kemudian, Didi menghapus rencana IPO di AS dan membuat rencana untuk melantai di bursa Hong Kong.
Otoritas lantas memutuskan bahwa perusahaan tersebut melanggar UU keamanan jaringan, UU keamanan data, dan UU perlindungan informasi pribadi Cina setelah melakukan penyelidikan.
"Didi juga mengumpulkan data pengguna secara ilegal," kata CAC dikutip dari CNBC Internasional, Kamis (21/7). Namun, otoritas tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ilegal versi mereka.
Hanya, laporan media mengungkapkan adanya kegagalan perusahaan untuk meyakinkan Beijing bahwa praktik datanya aman sebelum rencana IPO di bursa New York. Ini membuat Didi bisa berbagi data dengan regulator AS.
Didi merupakan platform ride-hailing terbesar di Cina, dengan lebih dari 500 juta pengguna aktif tahunan. Beijing khawatir perusahaan memiliki akses ke rim data geolokasi yang dapat dianggap sensitif.
Denda kepada Didi menunjukkan bahwa tekanan Pemerintah Cina kepada perusahaan teknologi belum berakhir. Beberapa pekan lalu, Badan Nasional Regulasi Pasar Cina atau SAMR juga mengenakan denda pada raksasa teknologi Alibaba dan Tencent.
Selain keduanya, sejumlah perusahaan menghadapi denda serupa. "Mereka dianggap gagal mematuhi aturan anti-monopoli, tentang pengungkapan transaksi," kata SAMR dikutip dari Reuters, dua pekan lalu (10/7).
Total ada 28 kesepakatan yang melanggar aturan menurut SAMR. Ada lima aksi korporasi Alibaba yang melanggar aturan, termasuk pembelian ekuitas pada anak platform streaming Youku Tudou.
Sedangkan, Tencent terlibat dalam 12 transaksi aksi korporasi.
Berdasarkan UU anti-monopoli, potensi denda maksimum dalam setiap kasus mencapai 500 ribu yuan atau Rp 1,1 miliar.
Pemerintah Cina memang gencar menekan raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tencent menggunakan serangkaian aturan.
CEO Kantor CIO Global Gary Dugan mengatakan, serangan regulasi dari pemerintah itu menekan perusahaan teknologi seperti Alibaba dan Tencent dalam jangka waktu lama.
Tidak hanya itu, akan ada penambahan lebih banyak sektor yang menjadi sasaran tekanan Beijing.
"Ini akan menjadi waktu yang lama bagi investor untuk khawatir tentang perubahan yang tertunda," kata CEO Kantor CIO Global Gary Dugan, akhir tahun lalu (13/8/2021).
Jika ditinjau sejak akhir 2020, setidaknya ada sembilan aturan baru yang menyasar raksasa teknologi, di antaranya:
- Aturan anti-monopoli yang baru
- Aturan terkait kredit mikro berbasis digital
- Membatasi anak bermain gim online
- Memperketat aturan konten di game online hingga video on-demand (VoD). Salah satunya melarang konten yang menampilkan pria berpenampilan feminin.
- Melarang fan fanatik di media sosial
- UU Keamanan data yang baru
- Redistribusi kekayaan
- Algoritme
- Pemangkasan biaya platform pesan-antar makanan