Regulasi Baru Digodok, RI Sudah Lama Berdagang Karbon Secara Bilateral

123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi karbon, CO2
13/7/2021, 13.16 WIB

Pemerintah tengah menggodok peraturan presiden (Perpres) tentang nilai ekonomi karbon di Indonesia. Salah satu regulasi yang diatur mengenai perdagangan karbon. Meski demikian praktik perdagangan karbon di tanah air telah lama dimulai.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan praktik jual beli kredit karbon di Indonesia sudah lama dimulai meski tanpa payung hukum. Bentuknya ada beberapa skema, salah satunya kerja sama bilateral dengan Jepang melalui skema Joint Crediting Mechanism (JCM).

"Emisinya hanya diklaim oleh pemerintah Jepang. Sebagai hasil imbal baliknya pemerintah Jepang kasih uang buat bikin proyek di Indonesia," ujarnya kepada Katadata.co.id, Selasa (13/7).

Tak hanya itu, pemerintah Indonesia mempunyai kerja sama dengan pemerintah Norwegia. Dalam kerja sama tersebut Norwegia akan membayar Indonesia atas upayanya dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Adapun pembayaran tersebut sebagaimana isi kerja sama Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). "Kalau REDD+ dengan Norwegia, JCM dengan pemerintah Jepang, dengan 16 negara lain, termasuk Indonesia," ujarnya.

Indonesia mempunyai komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC) berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Dalam NDC disebutkan, target penurunan emisi GRK adalah 29% melalui skema unconditional atau business as usual (BAU), atau 41% dengan bantuan internasional.

Dengan adanya target tersebut, maka penurunan emisi GRK harus terekam, tercatat, terverifikasi oleh masyarakat internasional. Itu sebagai bukti upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK.

"Nah dengan begitu maka di situlah instrumen nilai ekonomi karbon itu menjadi penting karena kemudian dengan instrumen itu kita bisa mendorong mitigasi perubahan iklim dalam menciptakan proyek-proyek misalnya untuk proyek energi terbarukan," kata dia.

Simak databoks berikut:

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai ketika Protokol Kyoto diberlakukan, Indonesia termasuk negara yang beruntung. Hal ini karena bisa menjual karbon yang berkurang dari penggunaan energi terbarukan.

Mekanisme transaksi dari karbon diatur melalui Clean Development Mechanism (CDM), mekanisme pembangunan bersih. Beberapa proyek CDM sudah berhasil dilaksanakan terutama dari energi terbarukan yang menggunakan panas bumi.

Kesepakatan CDM hanya berlaku sampai 2012 dan transaksi kontraknya terakhir masih ada yang berlaku sampai tahun 2020. Sementara untuk saat ini mekanisme CDM sudah tidak berlaku lagi.

"Jepang bahkan sejak tahun 2013 atas inisiatif sendiri mengembangkan mekanisme JCM, Joint Carbon Mechanism, yang lebih pada mekanisme transaksi nilai karbon dalam bentuk bilateral," kata dia.

Adapun saat ini, menurut Surya mekanisme tersebut sepertinya sudah tidak dipergunakan lagi. Sebagai gantinya, muncul inisiatif melalui mekanisme nilai ekonomi karbon.

Prinsipnya adalah transaksi antara pengembang energi bersih dan terbarukan dengan pengembang energi fosil khususnya batu bara. Indonesia sendiri sudah mengevaluasi untuk menerbitkan Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon yang sedang disiapkan untuk terbit.

Karena ini adalah transaksi, maka nilai karbon ini juga akan bisa diperjualbelikan dengan pihak luar. Di sinilah pentingnya pengaturan mekanisme dan nilai dari Ekonomi Karbon itu. "Kalau pun sekarang ada perdagangan karbon itu berlaku hukum ekonomi biasa saja antara supply and demand," ujar dia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan peraturan presiden atau Perpres sebagai dasar landasan hukum nilai ekonomi karbon masih disusun. Adapun tiga mekanisme yang saat ini tengah disusun, yakni perdagangan karbon, result based payment dan pungutan karbon.

Siti menjelaskan mekanisme perdagangan karbon merupakan proses transaksi karbon antara pelaku usaha atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas emisi yang ditentukan.

"Jadi kalau ada proyek batas emisinya ditentukan dulu kalau lebih nanti bisa diperdagangkan itu namanya trade, dan offset," kata dia beberapa waktu lalu.

Lalu, mekanisme result based payment yakni insentif berupa pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses verifikasi dan tersertifikasi. Adapun mekanisme ini baru diterapkan untuk sektor kehutanan.

Kemudian untuk pungutan karbon saat ini pemerintah sendiri masih mengkaji mekanisme yang tepat. Pengenaan pungutan karbon tengah dipertimbangkan untuk diberlakukan terhadap komoditas yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

"Ini meja kayu ini carbon stock apakah akan dihitung seperti itu. Apakah nanti dihitung dari emisi yang dihasilkannya. Saya sependapat memang hal-hal ini harus berdasarkan hasil interaksi dari segala stakeholders," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan