Penerapan Pasar Karbon Membutuhkan Solidaritas Antarnegara

123RF
Ilustrasi. Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) yakni pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 41% pada tahun 2030.
26/5/2022, 08.40 WIB

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan tengah menyiapkan mekanisme pasar karbon sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2060. Chair of Trade and Investment B20 Indonesia Arif Rachmad menilai, implementasi pasar karbon membutuhkan kerja sama atau solidaritas antarnegara yang saat ini memiliki tahap pembangunan yang berbeda.

“Dunia membutuhkan sistem perdagangan karbon global yang efektif, aman, dan adil terutama bagi negara yang belum berkembang dan negara berkembang,” kata Arif dalam webminar bertajuk Organized Voluntary Carbon Marketplace to Tackle the Global Climate Crisis pada Rabu (25/5).

Arif menjelaskan, karbon dalam ekosistem pasar karbon sukarela diklasifikasikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan dengan mekanisme penetapan harga sesuai kesepakatan dan bersifat transparan. Pasar karbon diharapkan efektif menurunkan emisi. 

Special Advisor CDP, dan Member, Distinguished Advisory Board Integrity Council for the Voluntary Carbon Market Paula DiPerna mencontohkan penerapan pasar karbon sukarela pertama di dunia yakni Chicago Climate Exchange. Pasar karbon yang diterapkan di Amerika Serikat ini mengatur perdagangan gas rumah kaca sebagai upaya menuju transisi energi di Amerika Utara dan Brazil.

Menurut Paula, hadirnya pasar karbon sukarela dapat membantu sejumlah negara pengemisi untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah mereka tetapkan secara masing-masing. “Hal ini merupakan salah satu bentuk komitmen setiap negara terhadap Persetujuan Paris,” ujar Paula.  

Indonesia telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) yakni pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 41% pada tahun 2030. Presiden Joko Widodo bahkan telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai nol emisi karbon pada 2060. Jokowi pun telah menetapkan Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. 

Sebagai langkah awal untuk membangun pasar karbon, pemerintah akan menerapkan pajak karbon secara bertahap mulai 1 Juli. Pajak karbon akan terlebih dahulu diterapkan kepada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan tarif Rp30.000 atau sekitar US$2,09 per ton emisi karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, terdapat kerumitan yang muncul dari rencana pengenaan pajak karbon. Saat ini, pajak karbon yang dikenakan antara satu negara dengan negara lain sangat berbeda. Hal ini berpotensi memunculkan kebocoran yang ingin dihindari pemerintah.

"Ada negara yang mematok harganya US$ 3, US$ 25, bahkan US$ 40. Harga berbeda-beda akan membuka kemungkinan kebocoran. Jadi rezim dan kebijakan pasar karbon ini memang cukup rumit," ujar Sri Mulyani dalam PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis (31/3).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu

Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.