Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB menyampaikan janji negara-negara kaya untuk membantu negara-miskin beradaptasi dengan perubahan iklim telah melambat, padahal cuaca ekstrim semakin sering terjadi. Kelambatan tersebut ditandai dengan adanya kekurangan dana pendanaan iklim sebesar 50%.
Negara-negara maju berjanji untuk menyediakan $100 miliar per tahun dalam bentuk pendanaan iklim untuk negara-negara miskin sejak 2009. Dana tersebut ditujukan untuk membantu negara-negara miskin memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan juga beradaptasi dengan kenaikan suhu dan permukaan air laut.
Namun, aliran dana yang ada hanya mencapai $25 miliar selama periode 2017-2021, demikian ungkap Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP). Itu artinya, terjadi kekurangan pendanaan sebesar US$ 194 miliar hingga US$ 366 miliar,.
"Tindakan untuk melindungi manusia dan alam menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan, tindakan yang dilakukan justru terhenti,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Jumat (3/11).
Oleh sebab itu, Guterres meminta negara-negara maju agar bisa memenuhi janji untuk melipat gandakan dana adaptasi. Selain itu, dia juga meminta pajak yang dihasilkan dari perusahaan bahan bakar fosil bisa digunakan untuk mengkompensasi kerugian iklim. Mobilisasi dana tersebut akan menjadi topik pembicaraan utama dalam negosiasi KTT COP28 di Dubai pada akhir November 2023.
Sementara itu, peneliti di Chalmers University of Technology dan salah satu penulis laporan UNEP menuturkan, pendanaan untuk iklim dan transisi energi dari negara-negara maju pada 2017-2021 berjumlah sekitar US$3 per orang. Aliran dana tahunan tersebut turun 15% pada 2021.
"Kita benar-benar membutuhkan tindakan adaptasi yang ambisius dalam dekade ini, dan jika tidak, kita akan meningkatkan kerugian dan kerusakan," ujarnya.
Setiap US$ 1 miliar yang dihabiskan untuk mengatasi banjir di pesisir, akan membantu menghindari kerugian ekonomi sebesar $14 miliar, demikian ungkap UNEP.
UNEP memperkirakan bahwa negara-negara berkembang membutuhkan US$ 215- US$ 387 miliar per tahun hingga 2030 untuk beradaptasi dengan dampak iklim. Angka tersebut yang akan meningkat signifikan pada 2050.
"Jumlahnya tidak terlalu besar, jika Anda membandingkan US$ 100 miliar dengan uang yang dihabiskan Amerika Serikat untuk militernya, dan yang dihabiskan untuk Covid atau untuk menyelamatkan bank-banknya, jumlahnya sangat kecil," kata UNEP.
Sementara itu di Indonesia, anggaran perubahan iklim masih naik dan turun. Laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, realisasi anggaran perubahan iklim di Indonesia berfluktuasi sepanjang 2016-2021.