Kementerian ESDM: Sektor Migas Berpotensi Ikut Perdagangan Karbon

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara./hp.
Petugas memeriksa keran pipa sumur saat proses injeksi CO2 di sumur JTB-161 Mundu, Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (26/10/2022). Pertamina melakukan injeksi perdana CO2 ke sumur minyak sebagai langkah awal penerapan teknologi Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS) untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri.
Penulis: Nadya Zahira
9/11/2023, 14.40 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sektor minyak dan gas atau migas mempunyai potensi yang besar untuk bisa terlibat aktif dalam perdagangan karbon melalui penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS). 

Direktur Teknik Migas dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan, pihaknya sedang mengkaji hal tersebut karena potensi ekonomi karbon sangat penting diidentifikasi untuk mendorong perdagangan karbon di Indonesia. 

Saat ini Indonesia telah memiliki wadah perdagangan karbon melalui Bursa Karbon atau IDX Carbon. Mirza mengatakan, perdagangan karbon memang harus terus didorong karena saat ini semakin menjadi perhatian berbagai pihak, seiring adanya komitmen untuk mencapai emisi nol di berbagai negara.

“Perdagangan karbon memang salah satu cara untuk mencapai emisi nol bersih atau net zero emision (NZE) pada 2060, maka hal ini sedang kami kaji agar sektor migas bisa ikut dalam perdagangan karbon,” kata Mirza, pada Kamis (9/11). 

Dia mengatakan bahwa Indonesia melihat ada peluang besar untuk menjadi hub CCS/CCUS di ASEAN. Hal ini juga akan membuka peluang besar bagi negara lainnya guna mengurangi emisi dari industri yang sulit mencapai Net Zero Emission.

Teknologi CCS Harus Masuk dalam Perdagangan Karbon

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Enegeri dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, mengatakan karbon yang ditangkap dari teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) nantinya bisa dijual di pasar karbon. Teknologi CCS harus dikembangkan dan direalisasikan agar sektor migas bisa benar-benar masuk dalam perdagangan karbon.

Secara sederhana CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi karbon dioksida atau CO2 dari kegiatan industri sehingga tidak mencemari udara. Kemudian, CO2 tersebut dimasukkan ke dalam sumur-sumur minyak dan gas yang sudah kosong

Tutuka mengatakan, saat ini perdagangan karbon yang sudah terdaftar di Otorita Jasa Keuangan (OJK) baru dari industri luar migas. Misalnya, sektor pembangkit geothermal atau panas bumi.  Dengan teknologi CCS, sektor migas bisa ikut dalam perdagangan karbon.

“Kalau CCS nanti sudah jalan, maka potensi nilai bagi perdagangan karbon itu sangat besar,” kata dia dalam acara DETalk bertajuk ‘Strengthening Indonesia as a Global LNG and LPG Player", yang disiarkan secara daring, Rabu (1/11).

Dia pun menjelaskan bagaimana karbon hasil penangkapan CCS bisa dijual di Bursa Karbon:

1.  Pemilik CCS harus mendaftarkan jumlah karbon yang didapatkan dari teknologi CCS tersebut.

2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan melakukan validasi jumlah karbon yang didaftarkan, lalu membuat laporan dan verifikasi.

3. Setelah verifikasi, KLHK menerbitkan Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) untuk masuk ke bursa karbon. 

Pemerintah sejatinya telah merilis aturan CCUS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaran Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Pada Pasal 6, pemerintah mengizinkan penangkapan emisi karbon dalam penyelenggaraan CCUS dapat berasal dari industri di luar kegiatan usaha hulu migas.

Reporter: Nadya Zahira