Porsi Hibah Sedikit, Dana JETP Dikhawatirkan Jadi Beban Utang Baru
Pendanaan Kemitraan Transisi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) dikhawatirkan menambah beban fiskal baru atau utang Indonesia. Pasalnya, porsi pendanaan JETP didominasi pinjaman dibandingkan hibah.
“Jadi ini merupakan jebakan utang, apalagi dana hibah tidak boleh digunakan untuk mendanai proyek” kata Aktivis 350.org Indonesia, Suriadu Darmoko, saat ditemui Katadata.co.id di sela acara diskusi mengenai CIPP JETP yang diselenggarakan GreenPeace dan TrenAsia, di Jakarta, Rabu (22/11).
Sebagai informasi, dana hibah JETP tersebut hanya sebesar US$ 295,4 juta atau setara dengan Rp 4,6 triliun. Sebagian dana ini ada yang digunakan untuk bantuan teknis di program tertentu hingga pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sedangkan dana pinjaman komersial dari JETP jumlahnya jauh lebih besar, di mana termasuk pendanaan swasta yang diinisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$ 10 miliar atau setara dengan Rp 156 triliun. Adapun pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Sebelumnya, Chairman Indonesia Clean Energy Forum, Bambang Brodjonegoro, menyarankan kepada pemerintah agar pendanaan JETP itu mayoritas berasal dari pembiayaan ekuitas, bukan pembiayaan utang. c
"Jadi saya melihat apa yang perlu kita negosiasikan dalam pendanaan tersebut yaitu, upaya agar porsi pembiayaan ekuitas lebih besar dibandingkan pembiayaan utangnya,” ujar Bambang saat dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, Senin (18/9).
Bambang menuturkan, pinjaman dari pendanaan JETP tersebut akan mudah untuk diakses karena menyangkut kebutuhan pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Namun, pendanaan itu tidak boleh membebani utang negara.
“Nanti akhirnya jadi pembicaraan seolah-olah Indonesia mau transisi energi, tapi utang negaranya makin besar. Kalau mau transisi energi ya undang investor masuk,” kata dia.
Utang Produktif
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Rachmat Kaimuddin menjelaskan program pendanaan JETP dialokasikan untuk proyek produktif yang berkaitan dengan transisi energi.
"Kami pastikan menjaga supaya jangan sampai nanti kita dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dibutuhkan. Tentunya pembangkit listrik ini kan penting, karena sesuai dengan kebutuhan energi kita, industri kita," kata Rachmat menanggapi kekhawatiran dana JETP sebagai jebakan utang Indonesia, seperti dikutip dari Antara.
Rachmat menjelaskan dalam membangun pembangkit listrik dibutuhkan dana investasi. Oleh karena itu, pemerintah berupaya agar pendanaan dari JETP dijadikan utang produktif. Artinya, pendanaan dari utang tersebut disalurkan untuk proyek-proyek yang dapat memberikan nilai tambah bagi Indonesia.
"Selama kebutuhannya untuk sesuatu yang produktif, menghasilkan nilai tambah, ya tidak apa-apa," ujar Rachmat yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Pelaksana Satuan Tugas Transisi Energi Nasional.
Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Ad Interim Erick Thohir. Menurutnya, bukan menjadi persoalan jika utang digunakan untuk hal-hal produktif.
"Kalau utang produktif itu biasa, pengusaha aja utangnya 70 persen equity-nya 30 persen. Jadi utang yang dikorupsi dan pemborosan itu yang kita sikat, tetapi kalau utang produktif itu biasa," ujar Erick.
Diketahui, kesepakatan JETP terjalin antara Indonesia dengan negara-negara maju yang tergabung dalam International Partners Group (IPG), dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang dan beranggotakan Denmark, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Norwegia, Prancis, dan Uni Eropa.
Komitmen pendanaan yang disepakati dalam pernyataan bersama awalnya bernilai 20 miliar dolar AS, namun kini dengan berbagai penambahan telah mencapai 21,6 miliar dolar AS, dengan 11,6 miliar dolar AS bersumber dari dana publik negara-negara IPG. Sedangkan, 10 miliar dolar AS akan berasal dari bank-bank internasional yang bergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.