Indonesia Jajaki Kerja Sama Teknologi CCS/CCUS dengan Korea Selatan

123RF.com/Dilok Klaisataporn
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
29/11/2023, 10.35 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjajaki kerja sama dengan Korea Selatan terkait pemanfataan teknologi Carbon Capture and Storage/Carbon Capture, Utilization and Storage (CCS/CCUS) di industri minyak dan gas bumi (migas). Hal ini mencuat pada acara bertajuk 'The 14th Indonesia-Korea Energy Forum (IKEF)' yang digelar di Jakarta, Selasa (28/11).

Adapun CCS/CCUS merupakan teknologi penangkapan emisi karbon dioksida (CO2) dari bahan bakar fosil maupun limbah, yang kemudian disimpan di dalam tanah.

Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menyampaikan, Indonesia telah mencanangkan net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Pemerintah juga telah menyusun peta jalan transisi energi untuk mencapai target tersebut.

Dengan target ambisius untuk menyusutkan emisi tersebut, pemerintah Indonesia melakukan sejumlah upaya salah satunya yaitu dengan penerapan teklogi CCS/CCUS. 

“Kami menargetkan penurunan emisi sebesar 231,2 juta ton CO2e di tahun 2025, 388 juta ton CO2e di tahun 2035 dan 1.043,8 juta ton CO2e di tahun 2050," ujar Tutuka melalui keterangan resmi, dikutip Rabu (29/11). 

Tutuka menyebutkan, implementasi teknologi CCS/CCUS di Indonesia saat ini memiliki 15 proyek yang sedang digarap. Dia mengatakan, proyek tersebut tersebar di seluruh daerah di Indonesia, dari Barat hingga Timur, dari Sumatera sampai Papua. 

“Proyek-proyek ini sebagian besar ditargetkan onstream pada 2030," kata dia. 

Dia menyebutkan, total investasi CCS/CCUS di Indonesia diprediksi mencapai US$ 7,97 miliar atau setara dengan Rp 122,4 triliun. Oleh karena itu, Tutuka siap membuka diskusi kepada delegasi Korea Selatan untuk menggali potensi kerja sama terkait CCS/CCUS maupun peluang kerja sama karbon lintas batas.

Selain itu, Tutuka mengatakan, pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan regulasi berupa Peraturan Menteri ESDM No. 2 tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. 

Beleid tersebut mencakup kegiatan-kegiatan antara lain: penangkapan, transport, injeksi, penyimpanan, dan penggunaan. Saat ini Peraturan Menteri ESDM berfokus hanya pada kegiatan di wilayah kerja minyak dan gas bumi.

Kemudian regulasi lain juga tengah disiapkan, yakni Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang CCS di luar kegiatan migas. Rancangan Perpres tersebut akan mengatur Perizinan Berusaha Untuk Izin Eksplorasi & Izin Operasi Penyimpanan Karbon.

"Sedangkan persyaratan pengangkutan CO2 lintas batas (Cross Border), akan dinaungi dalam kerja sama pemerintah antar negara (G2G) yang dituangkan dalam perjanjian internasional sebelum dijalankan korporasi antar negara (B2B)," ujarnya. 

Tutuka menilai, penerapan teknologi CCS maupun CCUS akan memainkan peran penting dalam mendukung transisi energi. Hal itu khususnya di bidang industri, pembangkit listrik dan transformasi bahan bakar yang menyumbang puncak emisi gas rumah kaca sekitar 44 juta ton CO2 pada 2030.

Kementerian ESDM juga telah menemukan lokasi yang berpotensi menjadi penyimpanan emisi karbon mencapai 12 giga ton CO2. Sebanyak dua giga ton terletak pada depleted reservoir lapangan migas dan 10 giga ton CO2 pada saline aquifer.

Hasil Studi Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi atau Lemigas menunjukkan potensi penyimpanan 10 giga ton pada saline aquifer terletak di Jawa Barat dan Sumatera Selatan.

Reporter: Nadya Zahira