Kenaikan Emisi Karbon RI Tertinggi di Dunia, Ini 3 Sektor Penyebabnya
Laporan terbaru dari tim ilmuwan Global Carbon Project menunjukan bahwa Indonesia jadi salah satu negara sepuluh besar penghasil karbon di seluruh dunia. Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia bahkan meningkat paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya yaitu sebesar 18,3% pada 2022.
"Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil khususnya batu bara, alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi," tulis laporan tersebut dikutip Selasa (5/12).
Khusus sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19.9% dari total emisi alih fungsi lahan dunia.
Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Brasil yang menghasilkan 1,08 miliar ton CO2 per tahun. Negara tersebut berkontribusi terhadap 23,1% produksi karbon dunia darisektor alih fungsi lahan.
Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia.
Emisi Karbon 2023 Cetak Rekor
Sementara itu, 2023 ditetapkan sebagai tahun dengan rekor emisi karbon dioksida tertinggi dari pembakaran bahan bakar fosil yaitu mencapai 36,8 miliar ton CO2 (GtCO2). Angka tersebut berada 1,4% di atas tingkat sebelum Covid-19 pada 2019. Emisi diperkirakan akan meningkat di semua jenis bahan bakar baik itu batubara, minyak, dan gas.
"Meskipun terjadi penurunan emisi karbon dari bahan bakar fosil di beberapa wilayah, seperti Eropa dan Amerika Serikat, namun secara keseluruhan angka emisi tersebut masih meningkat," ujarnya.
Total emisi karbon, termasuk emisi bersih dari perubahan penggunaan lahan, diproyeksikan mencapai 40,9 GtCO2 pada 2023. Jumlah ini hampir sama dengan tingkat emisi 2022 dan jauh dari pengurangan yang sangat diperlukan untuk memenuhi target iklim global.
Laporan Global Carbon Budget disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.
Tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50% kemungkinan bahwa kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi pada Laporan IPCC.
Profesor Pierre Friedlingstein dari Global Systems Institute, Universitas Exeter, yang memimpin penelitian ini, menyatakan, dampak perubahan iklim sudah jelas terlihat di sekeliling kita.
"Namun, tindakan untuk mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil masih berjalan sangat lambat," ujarnya dalam laporan tersebut, dikutip Selasa (5/12).
Professor Corinne Le Quéré, Profesor Riset Royal Society di Sekolah Ilmu Lingkungan Uni Emirat Arab mengatakan, emisi global pada tingkat saat ini dengan cepat meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer kita.Hal ini menyebabkan perubahan iklim tambahan dan dampak yang semakin serius dan meningkat.
“Semua negara perlu melakukan dekarbonisasi ekonomi mereka dengan lebih cepat dari yang sedang dilakukan saat ini untuk menghindari dampak-dampak terburuk dari perubahan iklim,” ujarnya.
Menurut data Climate Watch, pada 2020 Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,48 miliar ton/gigaton ekuivalen karbon dioksida (Gt CO2e). Angka itu setara dengan 3,1% dari emisi gas rumah kaca global, yang total volumenya mencapai 47,5 Gt CO2e.