Kementerian Lingkungan Hidup Prancis mengusulkan larangan ekspor pakaian bekas kepada Uni Eropa. Usulan ini mengemuka di tengah upaya pemerintah mencari cara-cara baru untuk mengatasi masalah limbah tekstil yang semakin parah.
Data perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa Uni Eropa mengekspor 1,4 juta metrik ton tekstil bekas pada tahun 2022, lebih dari dua kali lipat dari volume pada tahun 2000. Laporan European Environment Agency (EEA) menunjukkan 90% dari limbah pakaian bekas dan tekstil dari negara-negara Eropa diekspor ke Afrika dan Asia.
"Pakaian tersebut dapat menyebabkan polusi di negara-negara Afrika di mana barang-barang yang tidak dapat dijual kembali berakhir di tempat pembuangan," kata Uni Eropa seperti dikutip Reuters, Kamis (14/3).
Secara keseluruhan, data Komisi Eropa menunjukkan bahwa Eropa menghasilkan 5,2 juta ton sampah pakaian dan alas kaki setiap tahun. Proposal Prancis ini didukung oleh Swedia dan Denmark. Prancis menargetkan agar proposal tersebut dibahas dalam pertemuan Dewan Lingkungan Hidup di Brussel pada 25 Maret mendatang.
Kementerian Lingkungan Hidup Prancis menyalahkan sikap membuang-buang pakaian pada peritel "fast-fashion" yang mendapatkan keuntungan dari konsumsi berlebihan.
"Afrika tidak boleh lagi menjadi tempat sampah bagi fesyen cepat saji. Kita harus mengurangi sampah dan mengelola sampah kita sendiri," ujar Kementerian Lingkungan Hidup Prancis dalam sebuah pernyataan kepada Reuters.
Dampak Negatif Limbah Tekstil
Menurut laporan dari EEA, produksi dan konsumsi tekstil di Uni Eropa memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan iklim. Dalam rantai nilai, konsumsi tekstil menempati peringkat tinggi dalam hal penggunaan lahan dan konsumsi air, dan berada di posisi ketiga.
Industri ini juga berada di urutan kelima dalam hal pemanfaatan sumber daya material dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, produksi tekstil juga menggunakan bahan kimia yang semakin merusak lingkungan dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah meluasnya penggunaan tekstil sintetis, yang berasal dari sumber daya bahan bakar fosil. Bahan-bahan ini ditemukan di berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti pakaian, tekstil rumah tangga, dan bahkan komponen otomotif.
Produksi, konsumsi, dan pembuangan tekstil sintetis yang tidak tepat tidak hanya berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca tetapi juga menguras sumber daya tak terbarukan dan melepaskan mikroplastik berbahaya ke lingkungan.